Satu
jam berlalu. Mataku masih sembab. Menerkam bayangan masa lalu yang coba aku
usik kembali. Airmataku tidak mau mati, menahan sesak pula. Sudah berlalu sejak
dia menelan seluruh nafas hidupnya. Tidak akan ada lagi suara, bayangan dan
senyum itu. Semua telah mati. Telah tenggelam di dasar bumi. Dia telah pergi.
Meninggalkan segala bongkahan rasa yang ada.
“Aku
merindukanmu.”
Hanya
kata itu yang selalu aku ungkap tiap berdiri di depan nisannya. Tidak ada isak
yang deru, tapi hanya sebongkah kebisuan hingga berjam-jam berlalu. Rasaku telah pergi.
Tidak akan ada kenangan datang kembali. Aku terpaksa mengubur senyum indah yang
dulu ada, karena kini hanya airmata yang tersisa.
Andai
logika ini bisa menerima. Aku ingin pergi ke duniamu. Dunia yang kata orang kekal
dan penuh keajaiban. Surga kah itu? Aku ingin datang ke sana bersamamu.
Mungkinkah sekarang kau ada di sana. Dadaku mulai sesak. Ya, mungkin kamu di
sana dan sedang tersenyum mengawasiku. Kuharap kau juga merindukanku. Sungguh,
rasa terkubur selama lima bulan ini bagiakan onggokan besi yang hendak menyempitkan
dadaku.
Aku
usap airmataku perlahan. Memahami keadaan. Aku mungkin sudah gila dengan cinta
ini. Tidak ada kepastian kapan akan berakhir masa gelap ini. Jujur aku ingin
menyusulmu, karena kutahu kau satu-satunya lelaki yang bisa menerimaku. Bagiku
kau seperti burung camar, dan aku kapal di lautan. Suaramu mampu merubah
haluanku.
Lima
bulan sebelum kematiamu, kau adalah sosok pembeda. Saat kondisiku tak layak
untuk dicintai, tapi kau menerimaku dengan baik. Kau pernah bilang, “Rasaku tak
melihat ragamu.”
Airmataku mengalir. Aku benar-benar melihat
ketulusan sesungguhnya darimu. Kau mengajariku berdiri, menuntunku berjalan dan
mengajariku menikmati indahnya hidup. Aku fikir setelah peristiwa pahit itu
hidupku akan gelap, tapi tidak. Tuhan menghadirkan sosokmu di duniaku. Sosok
yang selalu menebar senyum dan motivasi, hingga kakiku mampu berjalan kembali.
Aku begitu menyadari, bahwa kau sungguh malaikat yang diturunkan Tuhan.
“Aku
hadir untuk membuatmu tersenyum.”
Jantungku
nyaris melompat. Sesak berat semakin menyiksa. Kalimat itu sungguh sisa
kenangan yang perih untuk diterima.
Kenyataan tak sesuai keinginan kita. Kematian mengubah semua.
“Ayo
pulang, Ka.”
Aku
faham suara siapa itu. Maya sahabatku, tapi aku tidak peduli. Aku ingin tetap
berlama-lama di depan nisan ini. Mengusik kembali kenangan. Siapa tahu dia akan
kembali, walau kedengarannya mustahil. Namun entah kenapa aku memiliki
keyakinan kuat, bahwa dia akan datang. Setidaknya untuk memelukku selama
semenit atau kurang dari itu. Tidak apa, asalkan aku melihatnya.
“Kamu
sudah lima jam di makan ini. Apakah setiap hari kamu akan menghabiskan lima jam
waktumu untuk duduk di sini. Danny tidak akan kembali. Dia sudah mati,
Reka!” tegas Maya, dan nada suaranya
meninggi saat kalimat terakhir.
Aku
masih tidak peduli. Aku tahu semua orang bilang dia sudah mati. Aku juga tahu
dia sudah dimakamkan dan jasatnya sudah menjadi tanah. Tiga bulan, bagiku dia
tidak bisa dikatakan mati. Mungkin saja dia masih hidup, atau mungkin aku sudah
gila. Itu yang sering dikatakan orang disekitarku.
“Oke,
kalau kamu tidak mau pulang. Aku sudah lelah setiap hari menasehatimu. Silahkan
tidur di sini dan menangis sepuasmu!”
Maya
mulai meninggalkanku dan aku masih duduk setia. Sudah tiga bulan dia
menjemputku tiap aku datang ke makam, dan tiga bulan pula aku tidak pernah mau
pulang bersamanya. Aku pulang sendiri setelah aku puas merenung.
oOo
Jam
terus berputar, matahari mulai menutup sebagian wajahnya. Namun aku masih tak
lelah menunggu. Entah kenapa aku merasa yakin dia akan datang. Butiran airmata
mengalir kembali. Udara dingin menyambut malam. Pasti dia kesepian. Di makan
ini ia tidak punya teman. Aku ingin menemaninya. Kalaupun dia tidak datang
malam ini, mungkin besok atau lusa. Aku akan tetap menunggunya. Ini caraku
mencintainya, seperti caranya mencintaku, saat aku tidak bisa berjalan.
Aku
berusaha bertahan meski masih hayalan tentang sosoknya yang bakal datang. Namun
mataku tak mampu memberikan jawaban. Tubuhku mulai merasakan kelelahan yang
amat sangat, sehingga tak lama dari itu aku terjatuh dan tertidur di samping
makam Danny.
Entah
apa yang terjadi setelah itu, tapi aku melihat sosoknya. Aku sedang berdiri di
sebuah padang rumput nan hijau dan luas. Kutatap lelaki yang sedang berdiri di
depanku dengan penuh deraian airmata. Ingin aku berlari untuk memeluknya, tapi
semua terasa kaku. Otakku tak mampu memerintahkan anggota tubuh, sehingga aku
hanya terdiam dengan nafas nyaris putus.
“Da..
Da.nny..” suaraku terasa berat
Lelaki
itu tersenyum lebar dan berjalan mendekatiku. Ia meraih tanganku dan
meletakkannya di atas dadanya. Tidak ada degup jantung yang bisa kurasakan.
Semua terasa dingin dan diam.
“Jantungku
sudah tidak lagi berdetak. Tahukah kau apa artinya itu?”
Pertanyaan
itu membekukan jantungku. Aku tahu apa itu, tapi mulutku bungkam. Aku tidak
akan menjawab, karena aku tidak yakin dia sudah mati.
“Percayalah
dengan apa yang kau lihat. Aku tidak akan datang lagi. Kau tidak perlu
menungguku.” Katanya
Aku
mencoba menggerakkan tubuhku. Jelas aku menolak hal itu. Mataku melotot.
Tanganku mengepal dan airmataku mengancam akan keluar. Namun dia tersenyum
teduh. Seolah-olah semua baik-baik saja.
“Ini
akhir cinta kita.”
“Tidaaak...!!!”
teriakku sekencangnya
“Akan
datang masa yang jauh lebih indah dari masa yang kita lalui.” Katanya lalu
memegang kepalaku. Masih dengan senyum, ia berhasil melumpuhkan seluruh saraf
dan organ tubuhku, hingga aku tidak mampu bicara. Ia mulai memejamkan kedua
mataku dengan tangannya.
“Aku
mencintaimu, Reka.”
Untuk
yang terakhir kalinya aku masih mendengar kalimat itu, tapi setelah itu, semua
terasa gelap dan telingaku tidak lagi mampu mendengar apapun. Kubuka mata dan
hanya kegelapan yang hadir. Bayangnya telah pergi, dan aku harus terpaksa
meyakini bahwa dia memang sudah mati.
oOo
The Day After Tomorrow
Langit
gelap hari itu, tapi hujan belum juga turun. Aku berdiri di Halte dekat tempat
kerjaku di daerah Jakarta Selatan. Aku tatap awan gelap tersebut. Masih
menyisakan luka. Siapa bilang aku sudah normal dengan mempercayai kenyataan.
Tidak.. sama sekali tidak. Mungkin otakku meyakini, tapi tidak dengan hati dan
cintaku.
Hujan
mulai turun sangat deras. Seorang lelaki berlari menuju Halte dan duduk tidak
jauh dariku. Ia membersihkan kemeja dan rambutnya dari butiran hujan. Aku
sempat menoleh, dan saat itu ia juga sedang menoleh ke arahku. Mata kami
bertemu. Namun aku segera mengalihkan pandangan.
Ponselku
bergetar. Ada pesan masuk dari ibuku.
Cepat pulang ya, Ka.
Akan ada tamu penting untukmu
Tamu
penting? Aku ingat kata-kata orang tuaku minggu lalu, bahwa mereka ingin
memperkenalkanku pada seseorang. Sebenarnya itu cara mereka untuk membantuku
melupakan Danny. Tidak akan berpengaruh untukku.
“Mbak
mau ke mana?” lelaki itu bertanya
Aku
menoleh. Terdiam sejenak. Orang ini sok kenal ya.
“Tidak
tahu, yang pasti tidak pulang ke rumah.” Jawabku ketus
“Maksudnya
tidak kembali bagaimana?” lelaki itu mengerutkan alis.
Aku
mendesah, dan memutuskan untuk tidak menjawab. Jujur, setelah kepergian Danny
aku tidak punya keinginan untuk berteman atau dekat-dekat dengan laki-laki
lain. Aku takut cintaku berubah.
Lelaki
itu menghela nafas lalu tersenyum.
“Saya
tidak tahu apa yang sedang Mbak fikirkan, dan mohon maaf kalau saya lancang
bertanya begitu.” katanya dengan nada sopan.
“Terserah,
yang pasti aku tidak akan pulang ke rumah yang menambah beban dalam hidupku.”
Jawabku masih ketus
Lelaki
itu mungkin terkejut. Terbukti dari cara ia melihatku. Seperti menyimpan tanda
tanya besar dan penasaran.
“Saya
tidak tahu apa yang sedang Mbak alami. Kalau boleh saya memberi masukan.
Sebenarnya beban itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Tuhan selalu punya
cara untuk menunjukkan keindahan hidup ini.”
Kalimat
yang ia utarakan membuat kupingku panas. Siapa dia berani menasehatiku. Namun
aku memilih diam. Biarkan dia mengoceh.
“Kadang,
Tuhan memberikan kita mendung dan hujan yang deras, agar kita bisa melihat
pelangi. Meskipun caranya kadang tidak kita suka.” Tambahnya
Aku
kaget bukan main. Kata-kata itu pernah diucapkan Danny saat aku sakit dulu. Aku
langsung menoleh dan dia tersenyum lebar melihatku. Seketika jantungku seperti
berhenti berdetak. Senyum itu dan sorot matanya yang teduh, sungguh sama dengan
Danny. Mungkinkah...
“Tetap
semangat ya Mbak. Maaf, saya harus pergi terlebih dulu. Teman saya sudah
datang.”
Lelaki
itu langsung berlari menerjang hujan menuju mobil putih yang berhenti di seberang
jalan. Dia meninggalkan ribuan pertanyaan di otakku. Beberapa saat kemudian bus
datang dan aku segera masuk. Aku putuskan untuk pergi ke makam Danny. Barang
kali aku bisa mengusir semua fikiran konyol yang baru saja terlintas.
oOo
Aku
berdiri di depan makamnya. Menarik nafas panjang. Entah kenapa wajah lelaki itu
kembali muncul disaat aku ingin mengingat Danny. Aku segera menggelengkan
kepala. Jangan sampai ada racun yang melumpuhkan memoriku tentang Danny.
“Bodoh...
aku harus segera melupakan semua ini.”
Ponselku
berbunyi. Aku tahu itu telpon dari orangtuaku. Tamu mereka pasti sudah datang.
Lelaki yang mungkin ingin dijodohkan denganku. Aku abaikan telpon itu sampai
beberapa kali, hingga telingaku penat dan aku pun terpaksa mengangkatnya.
“Hallo..”
“Reka,
Ibu mohon pulanglah! Setidaknya kau menghargai tamu yang hendak bertemu
denganmu. Terserah apa keputusanmu nanti. Ibu hanya ingin kamu pulang untuk
melihatnya. Kasihan dia sudah menunggu.” Ibu terus ngomong tanpa henti, padahal
aku belum mengatakan setuju, ia sudah menutup telponnya.
Akhirnya
aku putuskan untuk pulang. Bagimanapun juga aku masih punya hati dan tahu cara
berbakti pada orang tua.
oOo
Aku
langsung menuju taman belakang rumah. Bisa kulihat seorang lelaki sedang ngobrol
bersama ibu sambil melihat bunga-bunga di sana. Ibu tersenyum melihat kedatanganku.
Seperti
ada kuda terbang di depanku. Mataku terbelalak melihat siapa sosok itu. Lelaki
yang baru saja aku lihat di Halte. Lelaki yang mengingatkanku pada Danny.
Diatersenyum melihatku. Tiba-tiba saja tubuhku kaku dan jantungku berdegup
kencang. Apa yang sedang dilakukan jantungku? Kenapa rasa ini kembali muncul
saat Danny sudah tidak ada.
“Ibu
tinggal ya.”
Ibu
langsung pergi setelah mengatakan itu. Meninggalkan kami berdua. Entah kenapa
semua terasa sempit. Mataku berkeliling mencari perlindungan. Tidak mungkin
secepat ini berubah.
“Ternyata
kita bertemu kembali.” kata lelaki itu
Aku
terus mengalihkan pandangan. Tak kubiarkan mataku melihat sosoknya. Aku takut
teracuni, ternodai dan membunuh cintaku untuk Danny. Namun lelaki itu berjalan
mendekatiku dan berdiri di depanku.
“Aku
sudah tahu tentangmu.”
Aku
masih mengalihkan pandangan. Terserah apa katanya. Toh aku tahu kalau lelaki
itu pandai membual.
“Last Love? Kata siapa cinta sudah
berakhir?” lelaki itu bertanya
Aku
bengong. Siapa yang mengajarinya bertanya begitu? Itu kalimat yang pernah Danny
ucapkan juga. Orang ini. Siapa sebenarnya orang ini. Aku langsung menoleh ke
arahnya.
“Da..Da..nny..?”
suaraku tercekat
Jember,
29 Mei 2013
Karena cinta, tidak
akan meninggalkan hati
yang sedang terluka