Rabu, 31 Juli 2013

JILBABKU ADALAH CARAKU MENCINTAIMU
Ulin Nurviana

Mungkin ini konyol, alasan pertamaku berhijab. Jika kuingat kembali alasan ini, rasanya kepalaku akan meledak, wajahku tercoreng tinta merah gelap,  dan jantungku mungkin akan melompat. Seseorang di luar sana, telah menggeser satu dari pintu hatiku. Ia berhasil masuk dan melumpuhkan setengah dari pertahananku untuk tidak jatuh cinta.
Andai aku bertemu jodohku saat ini, maka aku akan benar-benar minta maaf karena pernah jatuh cinta, dan menjadikan orang lain sebagai alasanku berjilbab.
“Kena angin apa, Vi? Kok pakai jilbab?”
Pertanyaan semacam itu sering aku dengar. Membuat telingaku cukup gatal. Jujur, aku sendiri bingung dengan gaya hidupku saat ini. Benarkah ini aku? Bagaimana bisa hanya dengan melihat sosoknya, seolah-olah aku melihat danau yang siap membersihkan tubuhku dari noda.
Aku seperti melihat surga di matanya. Melihatnya, membuatku ingin menjadi wanita sholehah. Sosok penuh beribadi yang luar biasa. Diam-diam aku mengamatinya dan mempelajari tingkah lakunya. Aku perhatikan dari jauh cara dia berjalan, berbicara dengan orang, sampai sujud dia waktu sholat di masjid kampus. Terkadang aku berandai bahwa dia kelak jodohku.
Semua tumbuh indah seperti sakura di musim semi. Aku hanya menyimpan rasa ini, karena aku tahu
diri. Jilbabku bukan rasa yang bisa melumpuhkan waktu saat takdir itu datang.
oOo

Aku berdiri di depan cermin yang ada di toilet kampus. Memandang penampilan yang sudah jauh berbeda dari dulu. Aku merasa hangat dengan jilbab dan pakaianku yang tertutup ini. Ada kedamaian yang menyapa tiap kali jilbab aku kenakan. Seolah-olah angin berbisik bahwa aku cantik memakainya.
“Apa yang membuatmu seperti ini?” tanya teman sekelasku
Aku hanya tersenyum sambil merapikan jilbabku.
“Aku tahu kau sering memperhatikan Kyu. Kalau alasanmu berjilbab karena dia, sebaiknya kamu lepas saja jilbabmu! Karena percuma berhijab kalau tidak tulus dari hati. Niat baikmu tidak akan diterima Allah. Akan lebih baik kau tidak berjilbab.” Cecernya dengan penekanan pada kata terakhir.
Tiba-tiba jantungku sedetik berhenti bekerja. Ada yang panas dan membuat nafasku berat.
“Dalam Al-quran dikatakan bahwa laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Jika kita ingin mendapat yang terbaik, maka sebaiknya bercermin terlebih dahulu.” Tambahnya
Sumpah, kalimta-kalimat yang ia utarakan membuat dadaku sesak. Airmataku mengancam keluar, dan wajahku merah padam karena rasa malu sekaligus tersinggung. Aku mulai menundukkan kepala. Menatap ujung jilbabku yang tergerai. Airmata pun menggores pipiku.
“Maaf, tapi sebaiknya kau berfikir sebelum memutuskan.” katanya
Dia meninggalkanku di toilet saat airmataku tak mampu kubendung. Aku mulai membuka logika. Menatap jilbabku yang berwarna putih. Akankah hatiku seputih warna jilbab ini? Mungkin yang dikatakan temanku benar. Allah menerima niat yang tulus dari hati. Niat karena-Nya. Sedangkan aku? Aku mulai malu pada diri sendiri. Malu pada jilbab yang kupakai dan malu pada lelaki itu.
Bagaimana aku menutupi wajah ini dari rasa malu? Beraninya menyimpan rasa dengan orang yang tidak sama. Beraninya menggunakan jilbab untuk memantaskan diri memimpikannya, dan beraninya menipu hati yang sebenarnya penuh noda.
Sejak saat itu, aku mulai ragu untuk meneruskan keputusanku memakai jilbab. Namun aku masih memakainya saat di kampus. Hanya saja, kenyamanan dan kedamaian saat memakainya tidak terasa lagi. Justru aku merasa tersiksa. Ketakutan dan merasa bersalah.
Aku memilih menundukkan kepala tiap kali berpapasan dengan orang yang mengenalku, tapi aku ragu pula untuk melepas jilbab ini. Apakah berubah harus menunggu hati siap dan ikhlas? Kadang aku berfikir, bahwa aku tidak salah.

The Day After Tomorrow
Hari itu aku masih memakai jilbabku. Entah kenapa seperti ada lem yang menempel antara jilbab dan kepalaku. Enggan kulepas. Biarlah orang mengatakan apa tentang alasanku berjilbab. Jika temanku mengatakan bahwa aku harus menjadi lebih baik dulu, maka ini adalah usaha awalku menjadi lebih baik.
“Biarlah Allah yang menilai niat dan alasanku. Biarkan Allah pula yang mengajariku menanamkan niat yang benar.”
 Apa yang menjadi keyakinan, maka itu yang terjadi. Allah mengajariku tentang keikhlasan di saat itu juga. Saat aku sedang berjalan sendirian di area kampus. Aku melihat lelaki itu. Nyaris jantungku melompat. Aku melihat dia sedang berboncengan dengan seorang gadis. Benarkan dia alasanku mengaca? Benarkah dia menjadi alasanku berjilbab? Tidak. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat.
“Aku baik-baik saja.” suaraku berusaha menguatkan diri.
Jelas, pemandangan itu menjadi pukulan buatku. Kecewa pasti ada. Begitupun rasa sakit. Aku berusaha untuk terus menghela nafas. Membekukan kembali bongkahan kesabaran yang nyaris mencair.
Aku masih bertahan. Kupikir kejadian itu hanya kebetulan saja, toh setiap orang memiliki kesalahan, jadi aku bisa terima. Namun kenyataan tak sesuai harapan. Dua, hingga tiga kali aku melihatnya membonceng gadis itu. Bahkan kali ini tepat di depan mataku. Sosok yang aku pikir seorang malaikat itu ternyata sama saja dengan lelaki lain. Airmataku seketika meleleh.
Jantungku bagai diapit dua batu granit yang siap hancur setiap saat. Inikah rasanya kecewa. Niatku dari awal berjilbab memang salah. Allah benar-benar telah mengajariku memperbaiki niat.
oOo

Kecewaku telah menghapus rasa itu untuknya. Anehnya hatiku menolak keras saat aku hendak melepas jilbab. Justru dalam kekecewaan itu aku bertambah semangat untuk mengenakan jilbab. Seolah-olah jilbab adalah tempatku bersembunyi dari rasa sakit.
Suatu hari di serambi masjid, aku duduk di samping seorang wanita tua bertubuh gemuk. Ia sedang mengaduk-aduk tas tangannya. Mungkin sedang mencari sesuatu. Cukup membuatku penasaran, hingga aku menoleh.
“Sedang mencari apa, Bu?” tanyaku
“Al-quran, Nak. Kok gak ketemu. Padahal Ibu taruh di tas.” Jawabnya
Mataku bukan terpusat pada tas ibu itu, melainkan dengan jilbab besar yang ia kenakan. Apa yang difikirkan ibu ini hingga memakai jilbab segede itu. apa tidak gerah? Dan kenapa dia mengenakan kaos kaki juga? Aku mulai menggeser posisi dudukku agar lebih dekat dengannya.
“Alhamdulillah, ketemu juga.” Katanya
Aku tersenyum turut senang, tapi mataku masih setia mengamati penampilannya.
“Ibu, bolehkah saya bertanya?”
“Oh, tentu. Tanya apa, Nak?”
“Apa alasan Ibu dulu pertama kali memakai jilbab?” tanyaku agak takut kalau dia tersinggung, tapi ternyata dia tersenyum.
“Dulu Ibu berjilbab karena dipaksa orangtua. Niat awal agar orangtua senang, tapi lama-lama niat Ibu berubah.”
“Berubah bagaimana?” aku mulai mengejar karena penasaran.
“Di tengah jalan niat Ibu berubah karena Allah. Berjilbab itu suatu kuwajiban, jadi tidak ada alasan untuk kita menolak.” Jawabnya
“Jadi tidak salah jika awal niat berjilbab karena suatu hal?” lagiku
Ibu itu tersenyum, dan aku mengerutkan alis menanti jawabannya.
“Sebenarnya salah, Nak, tapi jika kita menunggu kata hati, maka sampai kapan kita mengumbar aurat? Padahal jilbab itu diwajibkan. Jadi yang benar adalah segera memperbaiki niat kita yang salah.” Jelasnya panjang lebar.
Aku terdiam menundukkan kepala.
Jika masih diberi kesempatan untuk merubah hati ini, maka akan aku tuliskan nama Allah dalam setiap niatku. Biarkan kesalahan niat itu menjadi masa lalu. Aku tidak membenci lelaki itu. Tidak sama sekali, justru aku berterima kasih. Setidaknya dia menjadi salah satu jalanku mengenal Allah.
Airmataku mengalir. Rasa sakit karena kecewa itu kembali muncul.
“Kenapa, Nak?”
“Akan indah pada waktunya kan, Buk?” tanyaku
Ibu itu tersenyum dan mengangguk
Biarkan masalah niat itu menjadi rahasiaku dengan-Nya. Aku akan membangun kembali semangatku berjilbab. Bukan karena seorang lelaki, tapi karena kesungguhanku untuk berubah.  Jika dulu aku berjilbab karena mencintai lelaki itu, kini aku berjilbab karena mencintai Allah. Rasa itu perlahan akan menghilang, seiring senja mengaburkan lukisan langit.


Jember, 31 Mei 2013
Terima kasih untuk inspirasinya.
Meski rasa tak sama, tapi niatku tulus untuk mendoakanmu






0 komentar:

Posting Komentar