JILBABKU
ADALAH CARAKU MENCINTAIMU
Ulin Nurviana
Mungkin ini konyol,
alasan pertamaku berhijab. Jika kuingat kembali alasan ini, rasanya kepalaku
akan meledak, wajahku tercoreng tinta merah gelap, dan jantungku mungkin akan melompat. Seseorang
di luar sana, telah menggeser satu dari pintu hatiku. Ia berhasil masuk dan melumpuhkan
setengah dari pertahananku untuk tidak jatuh cinta.
Andai aku bertemu
jodohku saat ini, maka aku akan benar-benar minta maaf karena pernah jatuh
cinta, dan menjadikan orang lain sebagai alasanku berjilbab.
“Kena angin apa, Vi?
Kok pakai jilbab?”
Pertanyaan semacam itu
sering aku dengar. Membuat telingaku cukup gatal. Jujur, aku sendiri bingung
dengan gaya hidupku saat ini. Benarkah ini aku? Bagaimana bisa hanya dengan
melihat sosoknya, seolah-olah aku melihat danau yang siap membersihkan tubuhku
dari noda.
Aku seperti melihat
surga di matanya. Melihatnya, membuatku ingin menjadi wanita sholehah. Sosok
penuh beribadi yang luar biasa. Diam-diam aku mengamatinya dan mempelajari
tingkah lakunya. Aku perhatikan dari jauh cara dia berjalan, berbicara dengan
orang, sampai sujud dia waktu sholat di masjid kampus. Terkadang aku berandai
bahwa dia kelak jodohku.
Semua tumbuh indah
seperti sakura di musim semi. Aku hanya menyimpan rasa ini, karena aku tahu
diri. Jilbabku bukan rasa yang bisa melumpuhkan waktu saat takdir itu datang.
diri. Jilbabku bukan rasa yang bisa melumpuhkan waktu saat takdir itu datang.
oOo
Aku berdiri di depan
cermin yang ada di toilet kampus. Memandang penampilan yang sudah jauh berbeda
dari dulu. Aku merasa hangat dengan jilbab dan pakaianku yang tertutup ini. Ada
kedamaian yang menyapa tiap kali jilbab aku kenakan. Seolah-olah angin berbisik
bahwa aku cantik memakainya.
“Apa yang membuatmu
seperti ini?” tanya teman sekelasku
Aku hanya tersenyum
sambil merapikan jilbabku.
“Aku tahu kau sering
memperhatikan Kyu. Kalau alasanmu berjilbab karena dia, sebaiknya kamu lepas
saja jilbabmu! Karena percuma berhijab kalau tidak tulus dari hati. Niat baikmu
tidak akan diterima Allah. Akan lebih baik kau tidak berjilbab.” Cecernya
dengan penekanan pada kata terakhir.
Tiba-tiba jantungku
sedetik berhenti bekerja. Ada yang panas dan membuat nafasku berat.
“Dalam Al-quran
dikatakan bahwa laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Jika kita
ingin mendapat yang terbaik, maka sebaiknya bercermin terlebih dahulu.”
Tambahnya
Sumpah, kalimta-kalimat
yang ia utarakan membuat dadaku sesak. Airmataku mengancam keluar, dan wajahku
merah padam karena rasa malu sekaligus tersinggung. Aku mulai menundukkan kepala.
Menatap ujung jilbabku yang tergerai. Airmata pun menggores pipiku.
“Maaf, tapi sebaiknya
kau berfikir sebelum memutuskan.” katanya
Dia meninggalkanku di
toilet saat airmataku tak mampu kubendung. Aku mulai membuka logika. Menatap
jilbabku yang berwarna putih. Akankah hatiku seputih warna jilbab ini? Mungkin
yang dikatakan temanku benar. Allah menerima niat yang tulus dari hati. Niat
karena-Nya. Sedangkan aku? Aku mulai malu pada diri sendiri. Malu pada jilbab
yang kupakai dan malu pada lelaki itu.
Bagaimana aku menutupi
wajah ini dari rasa malu? Beraninya menyimpan rasa dengan orang yang tidak
sama. Beraninya menggunakan jilbab untuk memantaskan diri memimpikannya, dan
beraninya menipu hati yang sebenarnya penuh noda.
Sejak saat itu, aku
mulai ragu untuk meneruskan keputusanku memakai jilbab. Namun aku masih
memakainya saat di kampus. Hanya saja, kenyamanan dan kedamaian saat memakainya
tidak terasa lagi. Justru aku merasa tersiksa. Ketakutan dan merasa bersalah.
Aku memilih menundukkan
kepala tiap kali berpapasan dengan orang yang mengenalku, tapi aku ragu pula
untuk melepas jilbab ini. Apakah berubah harus menunggu hati siap dan ikhlas?
Kadang aku berfikir, bahwa aku tidak salah.
The
Day After Tomorrow
Hari itu aku masih
memakai jilbabku. Entah kenapa seperti ada lem yang menempel antara jilbab dan
kepalaku. Enggan kulepas. Biarlah orang mengatakan apa tentang alasanku
berjilbab. Jika temanku mengatakan bahwa aku harus menjadi lebih baik dulu,
maka ini adalah usaha awalku menjadi lebih baik.
“Biarlah Allah yang
menilai niat dan alasanku. Biarkan Allah pula yang mengajariku menanamkan niat
yang benar.”
Apa yang menjadi keyakinan, maka itu yang
terjadi. Allah mengajariku tentang keikhlasan di saat itu juga. Saat aku sedang
berjalan sendirian di area kampus. Aku melihat lelaki itu. Nyaris jantungku
melompat. Aku melihat dia sedang berboncengan dengan seorang gadis. Benarkan
dia alasanku mengaca? Benarkah dia menjadi alasanku berjilbab? Tidak. Aku tidak
percaya dengan apa yang kulihat.
“Aku baik-baik saja.”
suaraku berusaha menguatkan diri.
Jelas, pemandangan itu
menjadi pukulan buatku. Kecewa pasti ada. Begitupun rasa sakit. Aku berusaha untuk
terus menghela nafas. Membekukan kembali bongkahan kesabaran yang nyaris
mencair.
Aku masih bertahan.
Kupikir kejadian itu hanya kebetulan saja, toh setiap orang memiliki kesalahan,
jadi aku bisa terima. Namun kenyataan tak sesuai harapan. Dua, hingga tiga kali
aku melihatnya membonceng gadis itu. Bahkan kali ini tepat di depan mataku.
Sosok yang aku pikir seorang malaikat itu ternyata sama saja dengan lelaki
lain. Airmataku seketika meleleh.
Jantungku bagai diapit
dua batu granit yang siap hancur setiap saat. Inikah rasanya kecewa. Niatku
dari awal berjilbab memang salah. Allah benar-benar telah mengajariku
memperbaiki niat.
oOo
Kecewaku telah
menghapus rasa itu untuknya. Anehnya hatiku menolak keras saat aku hendak
melepas jilbab. Justru dalam kekecewaan itu aku bertambah semangat untuk
mengenakan jilbab. Seolah-olah jilbab adalah tempatku bersembunyi dari rasa
sakit.
Suatu hari di serambi
masjid, aku duduk di samping seorang wanita tua bertubuh gemuk. Ia sedang
mengaduk-aduk tas tangannya. Mungkin sedang mencari sesuatu. Cukup membuatku
penasaran, hingga aku menoleh.
“Sedang mencari apa,
Bu?” tanyaku
“Al-quran, Nak. Kok gak
ketemu. Padahal Ibu taruh di tas.” Jawabnya
Mataku bukan terpusat
pada tas ibu itu, melainkan dengan jilbab besar yang ia kenakan. Apa yang
difikirkan ibu ini hingga memakai jilbab segede itu. apa tidak gerah? Dan
kenapa dia mengenakan kaos kaki juga? Aku mulai menggeser posisi dudukku agar
lebih dekat dengannya.
“Alhamdulillah, ketemu
juga.” Katanya
Aku tersenyum turut
senang, tapi mataku masih setia mengamati penampilannya.
“Ibu, bolehkah saya
bertanya?”
“Oh, tentu. Tanya apa,
Nak?”
“Apa alasan Ibu dulu
pertama kali memakai jilbab?” tanyaku agak takut kalau dia tersinggung, tapi
ternyata dia tersenyum.
“Dulu Ibu berjilbab
karena dipaksa orangtua. Niat awal agar orangtua senang, tapi lama-lama niat
Ibu berubah.”
“Berubah bagaimana?”
aku mulai mengejar karena penasaran.
“Di tengah jalan niat
Ibu berubah karena Allah. Berjilbab itu suatu kuwajiban, jadi tidak ada alasan
untuk kita menolak.” Jawabnya
“Jadi tidak salah jika
awal niat berjilbab karena suatu hal?” lagiku
Ibu itu tersenyum, dan
aku mengerutkan alis menanti jawabannya.
“Sebenarnya salah, Nak,
tapi jika kita menunggu kata hati, maka sampai kapan kita mengumbar aurat? Padahal
jilbab itu diwajibkan. Jadi yang benar adalah segera memperbaiki niat kita yang
salah.” Jelasnya panjang lebar.
Aku terdiam menundukkan
kepala.
Jika masih diberi
kesempatan untuk merubah hati ini, maka akan aku tuliskan nama Allah dalam
setiap niatku. Biarkan kesalahan niat itu menjadi masa lalu. Aku tidak membenci
lelaki itu. Tidak sama sekali, justru aku berterima kasih. Setidaknya dia
menjadi salah satu jalanku mengenal Allah.
Airmataku mengalir.
Rasa sakit karena kecewa itu kembali muncul.
“Kenapa, Nak?”
“Akan indah pada
waktunya kan, Buk?” tanyaku
Ibu itu tersenyum dan
mengangguk
Biarkan masalah niat itu
menjadi rahasiaku dengan-Nya. Aku akan membangun kembali semangatku berjilbab.
Bukan karena seorang lelaki, tapi karena kesungguhanku untuk berubah. Jika dulu aku berjilbab karena mencintai
lelaki itu, kini aku berjilbab karena mencintai Allah. Rasa itu perlahan akan
menghilang, seiring senja mengaburkan lukisan langit.
Jember, 31 Mei 2013
Terima
kasih untuk inspirasinya.
Meski
rasa tak sama, tapi niatku tulus untuk mendoakanmu
0 komentar:
Posting Komentar