BELLA
Ulin Nurviana
Tanganku masih menggenggam Sphygomomanometer atau tensimeter. Beberapa saat yang lalu seorang
pasien telah usai kuperiksa. Masih kuingat betul berapa tekanan darahnya. Tidak
baik, karena dibawah normal. Tidak jelas siapa pasien terakhirku, namanya saja
susah kuingat. Aku bukan dokter yang mudah menghafal nama-nama pasienku, bahkan
pasien inap yang berada dalam pengawasanku saja hampir tak bisa kuingat betul
namanya. Hanya beberapa kali kusebut namanya, itu pun menengok catatan identitas
yang dibawa perawat. Ah, aku pun tidak tau ada apa dengan kemampuanku menghafal
nama orang, karena sejak kecelakaan itu semua begitu sulit.
Kuputuskan
untuk keluar ruangan. Terlalu lama di ruangan bisa mencekik leherku. Aku tidak
begitu suka berlama-lama di rumah sakit. Jika jam kerjaku sudah habis, aku
segera pulang, tapi kali ini sesuatu menjebak dan menahanku agar tetap di
tempat penuh obat itu. Hujan di luar begitu deras. Tak ada kesempatan untuk
menerjangnya, terlalu deras. Apalagi kilatan petir sahut-sahutan di langit
sana.
“Ah,
sial..” gerutuku sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Kulirik
kursi tunggu yang berderet di koridor rumah sakit. Masih terlihat keluarga
pasien setia menunggu di sana. Koridor kian penuh, karena nyaris semua orang
yang berada di luar masuk di dalam gedung rumah sakit, sehingga setiap kursi
tunggu yang disediakan penuh. Bahkan ada yang rela duduk di lantai. Ah, aku
makin tidak suka dengan pemandangan ini, maka kuputuskan untuk berjalan menuju
belakang rumah sakit.
Mataku
menyapu taman belakang. Warna tanaman kian kabur akibat derasnya hujan. Tidak
ada bedanya dengan pemandangan di depan, hanya saja di sini tak kutemukan
banyak keluarga pasien yang memenuhi kursi tunggu, hanya beberapa pihak rumah
sakit yang berjalan kian kemari. Di tempat ini lah aku bisa menarik napas lega,
dan melempar tubuhku di atas kursi tunggu. Memejamkan mata sejenak sambil
bersandar. Setidaknya aku bisa mencuri waktu tidur selama beberapa menit.
“Permisi,
boleh kah saya duduk.” Spontan suara itu mengejutkanku. Seorang wanita berbalut
baju pasien sedang berdiri di sampingku. Menatap dengan penuh harap agar aku
mau membagi tempat duduk denganya.
Kubalas
tatapannya. Sepertinya tidak asing. Ya, aku ingat wajah wanita ini. Dia pasien
terakhir yang kuperiksa tekanan darahnya. Setengah jam sebelum kakiku sampai di
tempat ini. Kuarahkan pandanganku menuju kakinya. Sudah kuduga, dia pasti
memaksakan diri keluar dari kamar inapnya.
“Silahkan.”
Kataku sambil menggeser tubuhku.
Wanita
itu segera duduk dan menyelipkan kedua tangannya di antara kedua lutut.
Nampaknya ia kedinginan. Terlihat tubuhnya gemetar.
“Kenapa
kau keluar dari kamarmu?” tanyaku masih menatapnya.
“Kau
bicara dengan siapa?”
Aku
kaget. Dia bertanya begitu tanpa melihatku. Pandangannya tertuju pada lebatnya
hujan di luar sana. Hei, apa dia tidak tau kalau aku seorang dokter? Kalau
setengah jam yang lalu aku memeriksa keadaannya.
“Tentu
saja bicara denganmu. Tidak ada orang lain di sini selain kita.” Sahutku
sedikit emosi.
Tidak
ada jawaban. Wanita itu bahkan tidak memberi isyarat apa-apa. Seolah-olah tidak
ada aku di sana. Benar-benar membuatku jengkel. Aku bermaksud mengatakan
sesuatu, tapi sebelum suara itu sempat keluar, tiba-tiba tubuhku menegang. Kutangkap
butiran bening yang meluncur di pipi wanita itu. Ada apa? Kenapa dia menangis?
“Jangan
mengajakku bicara!” katanya ketus.
Kutarik
napas. Membiarkan dia menangis tanpa kutahu sebabnya. Sebenarnya aku ingin
bertanya, melihat tubuhnya gemetar seperti itu, tapi lagi-lagi aku terlalu naïf
untuk sekedar menyodorinya tisu. Ini sangat konyol. Wanita itu terus menguras
airmatanya, sedang aku duduk diam di sampingnya.
“Berhentilah
menangis! Ini sangat tidak nyaman bagiku.”
“Kau
seorang dokter kan?”
“Apa?”
aku segera mengarahkan pandanganku padanya. Wanita itu menoleh ke arahku. Bisa
kulihat matanya mulai membengkak. Entah berapa lama dia menangis, tapi rona
wajahnya sudah buram. Tak terlihat kecerahan lagi seperti terakhir aku
melihatnya.
“Kau
tidak ingat? Aku yang memeriksamu setengah jam yang lalu.”
Wanita
itu menggeser posisi duduknya. Menghadap wajahku. Menatapku tajam, dan
mencengkeram kedua lengan tanganku. Aku tidak tau apa maunya, tapi sorot
matanya menunjukkan suatu kebencian yang teramat sangat. Entah pada siapa.
“Kenapa
aku harus mengalaminya? Aku tidak pernah melakukan perbuatan hina itu, tapi
kenapa aku harus mengidap penyakit mengerikan itu, kenapa?” nada suaranya kian
meninggi pada kalimat terakhir. Airmatanya masih deras mengalir.
“Apa
maksudmu?”
“Aku
seorang ODHA.” Katanya lirih dengan kepala tertunduk.
Mataku
melotot kaget. ODHA? Kuraih kedua tangannya yang masih mencengkeram lenganku.
“Apa
maksudmu? Katakan dengan jelas!”
“Dua
tahun lalu, aku mengalami kecelakaan. Aku kehabisan banyak darah, dan dokter
yang menyelamatkanku. Dia telah memasukkan darah bercampur virus HIV ke dalam
tubuhku. Dokter itu yang menyebabkan aku seperti ini. Dia pasti ingin
membunuhku secara perlahan.” Tuturnya penuh emosi.
Kini
tubuhku menegang. Labirin-labirin memori masa lalu mulai terbuka secara
perlahan, membuat keringat dingin merayap-rayap dalam tubuhku. Apa yang wanita
itu katakan, persis seperti peristiwa yang kualami. Lebih tepatnya kesalahan
besarku sebagai seorang dokter.
Dua
tahun lalu, ketika hujan deras mengguyur kota Malang. Sebuah mobil ambulance membangunkan dan memaksaku
datang ke rumah sakit untuk melakukan operasi. Padahal saat itu kondisi tubuhku
sedang tidak stabil akibat sering piket malam di rumah sakit. Tidak begitu
jelas wajah pasien yang kutangani saat itu, karena wajahnya bersimbah darah.
Kecelakaan itu telah membuatnya membutuhkan berkantong-kantong darah.
Pasien
itu telah mendapatkan donor darah cukup banyak dari para kerabatnya, tapi masih
kekurangan, sehingga pada kantong darah yang terakhir aku tak memastikan steril
dari virus atau tidak. Kondisi saat itu sangat darurat. Bahkan aku tak yakin
dia masih bisa selamat dari maut. Aku tidak ingat siapa pendonor terakhir
untuknya, karena yang kupikirkan ketika itu pasien harus selamat dan mendapat transfuse darah dengan golongan yang
sama. Aku baru menyadari adanya virus HIV dalam darah tersebut beberapa jam
setelah pasien mendapatkan seluruh kantong darah yang ia butuhkan.
Gemetarlah
tubuhku. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, hanya bisa berharap semua itu
salah. Hanya bisa berdoa semoga virus itu tidak membunuhnya, meskipun dalam
diriku aku merasa seorang pembunuh. Dan pasien itu, apakah dia wanita yang saat
ini menangis di hadapanku?
Hujan
masih mengguyur kota Malang. Makin tak bisa kudengar wanita itu berkata apa,
memaki apa dan berteriak dengan kalimat bagaimana. Tubuhku gemetar penuh
ketakutan.
“Tidak
mungkin..”
“Dokter,
apakah aku akan mati dengan virus ini? Kata orang aku akan mati. Apa itu
benar?” tanyanya dengan airmata yang kian membuatku perih.
Kutatap
wajah kusut itu. Melihat airmata yang terus membanjiri pipinya membuatku kian
merasa bersalah. Aku bahkan tidak tau harus berbuat apa. Jika memang pasien dua
tahun lalu adalah wanita ini, maka aku bersedia bertanggung jawab. Meskipun aku
tau tidak akan membuang virus itu dari tubuhnya, tapi aku. Aku bersedia
mengabdikan hidupku untuk merawat dan menjaganya.
“Kenapa
kau diam dokter?” tanyanya setengah berteriak.
Aku
tertunduk. Airmataku mengancam keluar. Rasanya aku ingin menghisap virus itu
dari tubuhnya, ingin menguras habis, agar penyesalan dan rasa bersalah tidak
membunuh malam-malamku.
Di
hari-hari berikutnya aku berusaha mencari identitas lengkap dan kecelakaan yang
pernah wanita itu alami dua tahun lalu, dan ternyata apa yang kutakutkan benar
adanya. Dialah pasien yang kutangani dua tahun lalu. Lemas sudah tubuhku.
Bagaimana caranya aku mengatakan kalau dokter itu adalah aku? Aku yakin dia
akan membenciku dan tidak mengizinkanku bertanggung jawab. Tubuhku merosot dan
jatuh ke lantai. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis menyesal.
oOo
Halte
jalan Tlogomas, Malang
Hujan
akhir-akhir ini menyerang kota Malang. Beberapa hari ini matahari enggan
muncul. Bahkan pagi buta pun langit sudah nampak mendung. Kalau sudah begitu,
jalan raya kian macet. Kali ini aku benar-benar harus mempertebal kesabaran
saat mobilku nyaris tak bisa bergerak seinci pun. Terlalu lama jika menunggu
kemacetan ini berakhir, maka aku putar balik arah kemudi mobil dan mencari
jalan lain menuju rumah sakit.
Mendadak
aku mengerem laju mobil saat mata ini menangkap sosok wanita itu. Ia sedang
duduk sendirian di sebuah Halte. Mungkin sedang berteduh. Kuamati ia dari dalam
mobil. Sesak, aku merasa ada yang perih saat melihat wajahnya. Tidak ada senyum
di sana.
“Ya
Tuhan, apa yang harus kulakukan?”
Kuputuskan
untuk keluar dari mobil dan mendekatinya. Aku berlari menerobos hujan menuju
Halte. Tidak ada reaksi, wanita itu masih diam dengan pandangan kosong. Bahkan
ketika tubuhku telah sampai di depannya pun masih tidak ada pandangan yang
mengarah padaku.
“Bella..”
kusebut nama itu. Begitu berat.
“Dokter..”
Kujongkokkan
tubuhku di depannya. Meraih kedua tangannya yang begitu dingin, dan dia
melihatku penuh kebingungan.
“Jika
kau menemukan dokter itu. Apa kau akan memaafkannya?”
Dia
terdiam. Tangannya gemetar dan segera ia lepaskan dari genggamanku.
“Apa
kau orangnya?”
Aku
tertunduk, dan entah pada detik keberapa airmataku meluncur. Bella mendorong
tubuhku hingga aku tersungkur. Ia menangis meronta. Menggoyangkan tubuhku, dan
memaksaku untuk mengatakan semua. Sedang aku masih bungkam. Tak tau harus
memulai dari mana. Bahkan kalimat awal pun aku tidak punya. Namun Bella, ia
masih memaksaku untuk jujur. Berulang kali menjatuhkan tubuhku saat aku
berusaha bangun.
“Katakan
dokter! Katakan bahwa dokter itu kamu!”
perintahnya setengah berteriak.
Perlahan
aku mengangguk, dan seketika tubuh Bella terjatuh. Ia menangis berlutut di
depanku. Tidak ada suara, hanya guncangan tubuh yang kian merobohkan
pertahananku untuk tidak menangis. Melihat dia menangis sungguh menyiksaku. Hujan
hari ini menjadi saksi atas kejujuran pahit yang menyiksaku dan dirinya.
Perempuan yang baru kukenal seminggu lalu telah kulepuhkan penyakitnya, hingga
tidak tau di mana obat untuk mengeringkannya.
“Aku
akan bertanggung jawab, Bella. Aku akan menjagamu.”
“Tidakk!!”
teriaknya
“Aku
tidak mau dikasihani oleh orang yang menghancurkan hidupku. Tidak sama sekali.”
Tegasnya, lalu berlari pergi menerjang hujan menuju entah ke mana.
Airmataku
kembali tumpah. Kurasakan perih yang membuat napasku sesak. Sudah kuputuskan
untuk bertanggung jawab. Aku tau ini akan menjadi perjalanan panjang nan
melelahkan, tapi semua adalah kesalahanku. Aku akan datang lagi pada wanita
itu. memohon hingga tidak tau caranya pulang. Meskipun aku akan mengalami
ribuan penolakan bahkan cacian atau pukulan, aku tidak akan berhenti. Keputusan
ini sudah kuambil sejak dua tahun lalu, dan aku tidak akan pernah menyesal.
Jember,
25 Februari 2014
Aku
masih setia menjagamu
juara 3 lomba cerpen Pena House
0 komentar:
Posting Komentar