Minggu, 20 Desember 2015

Bella


BELLA
Ulin Nurviana


Tanganku masih menggenggam Sphygomomanometer atau tensimeter. Beberapa saat yang lalu seorang pasien telah usai kuperiksa. Masih kuingat betul berapa tekanan darahnya. Tidak baik, karena dibawah normal. Tidak jelas siapa pasien terakhirku, namanya saja susah kuingat. Aku bukan dokter yang mudah menghafal nama-nama pasienku, bahkan pasien inap yang berada dalam pengawasanku saja hampir tak bisa kuingat betul namanya. Hanya beberapa kali kusebut namanya, itu pun menengok catatan identitas yang dibawa perawat. Ah, aku pun tidak tau ada apa dengan kemampuanku menghafal nama orang, karena sejak kecelakaan itu semua begitu sulit.
Kuputuskan untuk keluar ruangan. Terlalu lama di ruangan bisa mencekik leherku. Aku tidak begitu suka berlama-lama di rumah sakit. Jika jam kerjaku sudah habis, aku segera pulang, tapi kali ini sesuatu menjebak dan menahanku agar tetap di tempat penuh obat itu. Hujan di luar begitu deras. Tak ada kesempatan untuk menerjangnya, terlalu deras. Apalagi kilatan petir sahut-sahutan di langit sana.
“Ah, sial..” gerutuku sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Kulirik kursi tunggu yang berderet di koridor rumah sakit. Masih terlihat keluarga pasien setia menunggu di sana. Koridor kian penuh, karena nyaris semua orang yang berada di luar masuk di dalam gedung rumah sakit, sehingga setiap kursi tunggu yang disediakan penuh. Bahkan ada yang rela duduk di lantai. Ah, aku makin tidak suka dengan pemandangan ini, maka kuputuskan untuk berjalan menuju belakang rumah sakit.
Mataku menyapu taman belakang. Warna tanaman kian kabur akibat derasnya hujan. Tidak ada bedanya dengan pemandangan di depan, hanya saja di sini tak kutemukan banyak keluarga pasien yang memenuhi kursi tunggu, hanya beberapa pihak rumah sakit yang berjalan kian kemari. Di tempat ini lah aku bisa menarik napas lega, dan melempar tubuhku di atas kursi tunggu. Memejamkan mata sejenak sambil bersandar. Setidaknya aku bisa mencuri waktu tidur selama beberapa menit.
“Permisi, boleh kah saya duduk.” Spontan suara itu mengejutkanku. Seorang wanita berbalut baju pasien sedang berdiri di sampingku. Menatap dengan penuh harap agar aku mau membagi tempat duduk denganya.
Kubalas tatapannya. Sepertinya tidak asing. Ya, aku ingat wajah wanita ini. Dia pasien terakhir yang kuperiksa tekanan darahnya. Setengah jam sebelum kakiku sampai di tempat ini. Kuarahkan pandanganku menuju kakinya. Sudah kuduga, dia pasti memaksakan diri keluar dari kamar inapnya.
“Silahkan.” Kataku sambil menggeser tubuhku.
Wanita itu segera duduk dan menyelipkan kedua tangannya di antara kedua lutut. Nampaknya ia kedinginan. Terlihat tubuhnya gemetar.
“Kenapa kau keluar dari kamarmu?” tanyaku masih menatapnya.
“Kau bicara dengan siapa?”
Aku kaget. Dia bertanya begitu tanpa melihatku. Pandangannya tertuju pada lebatnya hujan di luar sana. Hei, apa dia tidak tau kalau aku seorang dokter? Kalau setengah jam yang lalu aku memeriksa keadaannya.
“Tentu saja bicara denganmu. Tidak ada orang lain di sini selain kita.” Sahutku sedikit emosi.
Tidak ada jawaban. Wanita itu bahkan tidak memberi isyarat apa-apa. Seolah-olah tidak ada aku di sana. Benar-benar membuatku jengkel. Aku bermaksud mengatakan sesuatu, tapi sebelum suara itu sempat keluar, tiba-tiba tubuhku menegang. Kutangkap butiran bening yang meluncur di pipi wanita itu. Ada apa? Kenapa dia menangis?
“Jangan mengajakku bicara!” katanya ketus.
Kutarik napas. Membiarkan dia menangis tanpa kutahu sebabnya. Sebenarnya aku ingin bertanya, melihat tubuhnya gemetar seperti itu, tapi lagi-lagi aku terlalu naïf untuk sekedar menyodorinya tisu. Ini sangat konyol. Wanita itu terus menguras airmatanya, sedang aku duduk diam di sampingnya.
“Berhentilah menangis! Ini sangat tidak nyaman bagiku.”
“Kau seorang dokter kan?”
“Apa?” aku segera mengarahkan pandanganku padanya. Wanita itu menoleh ke arahku. Bisa kulihat matanya mulai membengkak. Entah berapa lama dia menangis, tapi rona wajahnya sudah buram. Tak terlihat kecerahan lagi seperti terakhir aku melihatnya.
“Kau tidak ingat? Aku yang memeriksamu setengah jam yang lalu.”
Wanita itu menggeser posisi duduknya. Menghadap wajahku. Menatapku tajam, dan mencengkeram kedua lengan tanganku. Aku tidak tau apa maunya, tapi sorot matanya menunjukkan suatu kebencian yang teramat sangat. Entah pada siapa.
“Kenapa aku harus mengalaminya? Aku tidak pernah melakukan perbuatan hina itu, tapi kenapa aku harus mengidap penyakit mengerikan itu, kenapa?” nada suaranya kian meninggi pada kalimat terakhir. Airmatanya masih deras mengalir.
“Apa maksudmu?”
“Aku seorang ODHA.” Katanya lirih dengan kepala tertunduk.
Mataku melotot kaget. ODHA? Kuraih kedua tangannya yang masih mencengkeram lenganku.
“Apa maksudmu? Katakan dengan jelas!”
“Dua tahun lalu, aku mengalami kecelakaan. Aku kehabisan banyak darah, dan dokter yang menyelamatkanku. Dia telah memasukkan darah bercampur virus HIV ke dalam tubuhku. Dokter itu yang menyebabkan aku seperti ini. Dia pasti ingin membunuhku secara perlahan.” Tuturnya penuh emosi.
Kini tubuhku menegang. Labirin-labirin memori masa lalu mulai terbuka secara perlahan, membuat keringat dingin merayap-rayap dalam tubuhku. Apa yang wanita itu katakan, persis seperti peristiwa yang kualami. Lebih tepatnya kesalahan besarku sebagai seorang dokter.
Dua tahun lalu, ketika hujan deras mengguyur kota Malang. Sebuah mobil ambulance membangunkan dan memaksaku datang ke rumah sakit untuk melakukan operasi. Padahal saat itu kondisi tubuhku sedang tidak stabil akibat sering piket malam di rumah sakit. Tidak begitu jelas wajah pasien yang kutangani saat itu, karena wajahnya bersimbah darah. Kecelakaan itu telah membuatnya membutuhkan berkantong-kantong darah.
Pasien itu telah mendapatkan donor darah cukup banyak dari para kerabatnya, tapi masih kekurangan, sehingga pada kantong darah yang terakhir aku tak memastikan steril dari virus atau tidak. Kondisi saat itu sangat darurat. Bahkan aku tak yakin dia masih bisa selamat dari maut. Aku tidak ingat siapa pendonor terakhir untuknya, karena yang kupikirkan ketika itu pasien harus selamat dan mendapat transfuse darah dengan golongan yang sama. Aku baru menyadari adanya virus HIV dalam darah tersebut beberapa jam setelah pasien mendapatkan seluruh kantong darah yang ia butuhkan.
Gemetarlah tubuhku. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, hanya bisa berharap semua itu salah. Hanya bisa berdoa semoga virus itu tidak membunuhnya, meskipun dalam diriku aku merasa seorang pembunuh. Dan pasien itu, apakah dia wanita yang saat ini menangis di hadapanku?
Hujan masih mengguyur kota Malang. Makin tak bisa kudengar wanita itu berkata apa, memaki apa dan berteriak dengan kalimat bagaimana. Tubuhku gemetar penuh ketakutan.
“Tidak mungkin..”
“Dokter, apakah aku akan mati dengan virus ini? Kata orang aku akan mati. Apa itu benar?” tanyanya dengan airmata yang kian membuatku perih.
Kutatap wajah kusut itu. Melihat airmata yang terus membanjiri pipinya membuatku kian merasa bersalah. Aku bahkan tidak tau harus berbuat apa. Jika memang pasien dua tahun lalu adalah wanita ini, maka aku bersedia bertanggung jawab. Meskipun aku tau tidak akan membuang virus itu dari tubuhnya, tapi aku. Aku bersedia mengabdikan hidupku untuk merawat dan menjaganya.
“Kenapa kau diam dokter?” tanyanya setengah berteriak.
Aku tertunduk. Airmataku mengancam keluar. Rasanya aku ingin menghisap virus itu dari tubuhnya, ingin menguras habis, agar penyesalan dan rasa bersalah tidak membunuh malam-malamku.
Di hari-hari berikutnya aku berusaha mencari identitas lengkap dan kecelakaan yang pernah wanita itu alami dua tahun lalu, dan ternyata apa yang kutakutkan benar adanya. Dialah pasien yang kutangani dua tahun lalu. Lemas sudah tubuhku. Bagaimana caranya aku mengatakan kalau dokter itu adalah aku? Aku yakin dia akan membenciku dan tidak mengizinkanku bertanggung jawab. Tubuhku merosot dan jatuh ke lantai. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis menyesal.
oOo

Halte jalan Tlogomas, Malang
Hujan akhir-akhir ini menyerang kota Malang. Beberapa hari ini matahari enggan muncul. Bahkan pagi buta pun langit sudah nampak mendung. Kalau sudah begitu, jalan raya kian macet. Kali ini aku benar-benar harus mempertebal kesabaran saat mobilku nyaris tak bisa bergerak seinci pun. Terlalu lama jika menunggu kemacetan ini berakhir, maka aku putar balik arah kemudi mobil dan mencari jalan lain menuju rumah sakit.
Mendadak aku mengerem laju mobil saat mata ini menangkap sosok wanita itu. Ia sedang duduk sendirian di sebuah Halte. Mungkin sedang berteduh. Kuamati ia dari dalam mobil. Sesak, aku merasa ada yang perih saat melihat wajahnya. Tidak ada senyum di sana.
“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?”
Kuputuskan untuk keluar dari mobil dan mendekatinya. Aku berlari menerobos hujan menuju Halte. Tidak ada reaksi, wanita itu masih diam dengan pandangan kosong. Bahkan ketika tubuhku telah sampai di depannya pun masih tidak ada pandangan yang mengarah padaku.
“Bella..” kusebut nama itu. Begitu berat.
“Dokter..”
Kujongkokkan tubuhku di depannya. Meraih kedua tangannya yang begitu dingin, dan dia melihatku penuh kebingungan.
“Jika kau menemukan dokter itu. Apa kau akan memaafkannya?”
Dia terdiam. Tangannya gemetar dan segera ia lepaskan dari genggamanku.
“Apa kau orangnya?”
Aku tertunduk, dan entah pada detik keberapa airmataku meluncur. Bella mendorong tubuhku hingga aku tersungkur. Ia menangis meronta. Menggoyangkan tubuhku, dan memaksaku untuk mengatakan semua. Sedang aku masih bungkam. Tak tau harus memulai dari mana. Bahkan kalimat awal pun aku tidak punya. Namun Bella, ia masih memaksaku untuk jujur. Berulang kali menjatuhkan tubuhku saat aku berusaha bangun.
“Katakan dokter! Katakan  bahwa dokter itu kamu!” perintahnya setengah berteriak.
Perlahan aku mengangguk, dan seketika tubuh Bella terjatuh. Ia menangis berlutut di depanku. Tidak ada suara, hanya guncangan tubuh yang kian merobohkan pertahananku untuk tidak menangis. Melihat dia menangis sungguh menyiksaku. Hujan hari ini menjadi saksi atas kejujuran pahit yang menyiksaku dan dirinya. Perempuan yang baru kukenal seminggu lalu telah kulepuhkan penyakitnya, hingga tidak tau di mana obat untuk mengeringkannya.
“Aku akan bertanggung jawab, Bella. Aku akan menjagamu.”
“Tidakk!!” teriaknya
“Aku tidak mau dikasihani oleh orang yang menghancurkan hidupku. Tidak sama sekali.” Tegasnya, lalu berlari pergi menerjang hujan menuju entah ke mana.
Airmataku kembali tumpah. Kurasakan perih yang membuat napasku sesak. Sudah kuputuskan untuk bertanggung jawab. Aku tau ini akan menjadi perjalanan panjang nan melelahkan, tapi semua adalah kesalahanku. Aku akan datang lagi pada wanita itu. memohon hingga tidak tau caranya pulang. Meskipun aku akan mengalami ribuan penolakan bahkan cacian atau pukulan, aku tidak akan berhenti. Keputusan ini sudah kuambil sejak dua tahun lalu, dan aku tidak akan pernah menyesal.


Jember, 25 Februari 2014
Aku masih setia menjagamu
 juara 3 lomba cerpen Pena House









0 komentar:

Posting Komentar