GIVE ME A REASON
Ulin Nurviana
Perumahan
Ambassador Gading Serpong, Jakarta.
Kutarik
napas panjang. Rasanya seluruh sendi-sendi dalam tubuhku hendak mencair karena
kondisi menegangkan ini. Lima belas menit berlalu tanpa kata. Suasana seketika
membisu, begitupun perabotan rumah yang ada di dalamnya. Ruang 6x5 meter itu
tak mampu menutupi keheningan yang sejak tadi menusuk nurani.
Kembali
kutarik nafas tanpa berani mengangkat kepala. Sudah sejak aku datang dan duduk
tak jauh darinya kutundukkan kepala. Bukan karena takut, tapi sebagai bentuk
caraku menghormatinya. Dengan bermodal niat kuberanikan diri untuk datang ke
rumahnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah keturunan nenek moyangku, seorang
perempuan datang ke rumah laki-laki untuk melamar, dan pencetak sejarah itu adalah
aku. Meskipun tradisi melamar laki-laki seperti ini sudah ada pada zaman
Rosulullah, tapi tetaplah masih menjadi hal tabu untuk saat ini.
Seperti
bencana. Aku tidak bisa menolak permintaan guru ngajiku untuk segera
menggenapkan separuh Din. Pasalnya aku yang harus datang untuk meminta
berta’aruf, bukan dia sebagai laki-laki. Aku tidak tau alasannya apa, tapi jika
melihat dari fisik lelaki itu, aku yakin ia punya kemampuan untuk datang
padaku. Namun entah kenapa hari itu bu Halimah –guru ngajiku– memaksaku yang
datang padanya. Tanpa alasan yang jelas, dan aku tak bisa menolaknya, mengingat
umurku sudah seperempat abad.
“Apakah
Anda mengenal Saya?”
Praakk..
Jantungku
seperti pecah menimpa wajahku. Pertanyaan itu nyaris membuat sekujur tubuhku
terkulai lemas. Kalau bukan karena desakkan dari guru ngajiku, aku tidak akan
datang ke sini untuk melengkapi tulang rusukku. Ini namanya mempermalukan diri
sendiri.
Kucengkeram
kedua tangan yang tertumpu di atas lutut. Keringat dingin mulai merambat-rambat
dalam tubuhku. Jilbab yang kukenakan rasanya seperti handuk, tak lagi nyaman
dipakai.
“Begini
Nak..” bu Halimah mulai angkat bicara.
“Mungkin
Pak Radit sudah membicarakan hal ini kepada Dek Alvin terkait permintaan untuk
segera menggenapkan separuh Din.” bu Halimah nampak tenang dengan serentetan
kalimat yang menurutku akan menenggelamkan tubuhku ke dasar bumi.
Kuangkat
kepala untuk melihat reaksi dari lelaki jangkung itu, dan dia
mengangguk-angguk. Entah kenapa dia merasa tenang di saat genting seperti ini.
Apakah kedatangan seorang perempuan untuk melamar laki-laki adalah hal biasa
baginya? Aku hanya bisa menelan ludah yang terasa pahit.
Matanya
mulai menangkap wajahku, dan segera kualihkan pandangan. Makin tegang saat
telingaku mulai menangkap kembali suara bariton itu.
“Anda
seorang Penulis ya?”
Suasana
mencair daripada sebelumnya. Setidaknya pertanyaan itu lebih terkesan santai, dan aku tersenyum mengangguk sebagai
jawaban.
“Sudah
terkenal ya, sering melihat nama Anda di beberapa buku.” Katanya yang sedikit
membuatku melambung. Entah kenapa pujian itu memberi pengaruh besar pada
hatiku, meskipun aku baru mengenalnya.
“Tapi
sepertinya saya tidak bisa menerima Anda.”
Praakkk..
Kembali
jantungku seperti pecah. Dia menolakku. Apa alasannya? Hanya senyum penuh tanda
tanya yang ia lempar padaku. Seolah-olah aku tidak merasa malu dengan keadaan
yang ia ciptkan ini. Aku mulai menahan napas. Berusaha mengabaikan apa yang
telah terjadi dan mengangguk begitu saja. Tak ada suara yang ingin kukeluarkan.
Sifat penurutku masih mendominasi, dan kadang membuatku terasa makin bodoh. Toh
permintaan ini juga atas dasar keinginna guru ngajiku, jadi aku tidak perlu
merasa sakit hati. Lagian kita juga baru pertama kali bertemu.
Kulempar
pandanganku pada pak Radit yang duduk di sebelah lelaki bernama Alvin itu. Pak
Radit melihatku penuh rasa bersalah. Tentu, karena semua pertemuan ini atas
keinginan beliau juga.
“Alasannya
apa, Dek Alvin?” tanya pak Radit
Aku
cukup tertohok mendengarnya. Jadi pak Radit juga belum tau kepastian atas
rencananya ini? Jadi ia hanya sekedar memintaku datang, sedang jawaban
sepenuhnya masih disimpan mas Alvin. Ya Tuhan, aku merasa dipermainkan. Kalau
begitu kenapa tidak mas Alvin saja yang datang padaku atau cari lelaki yang
jelas menerimaku. Ini sangat konyol, tapi lagi-lagi aku tak mampu bersuara.
Kutahan emosiku yang nyaris meledak. Berusaha yakin kalau mereka punya alasan
yang jelas.
“Aku
yakin Mbak Via orang yang sangat sibuk. Sebagai penulis pastilah ia punya
aktivitas segudang. Apalagi namanya sudah dikenal di kalangan pembaca. Saya
rasa dengan kesibukan seperti itu, sudah cukup menjadi alasan dari jawaban
saya.” Jelasnya
Kini
tubuhku benar-benar memanas. Dia menolak hanya karena aktivitasku sebagai
penulis? Memang dia tau aku sejauh mana? Jujur saja aku sering kehilangan
kendali saat ada orang yang merendahkan aktivitasku menulis. Namun untuk kali
ini kucoba bertahan. Setidaknya sampai aku mendapat alasan yang benar-benar
jelas. Buatku tidak logis jika dia menolakku hanya karena aku seorang penulis.
“Bolehkah
saya bertanya?”
“Tentu
saja, Mbak.”
“Sebelumnya
saya sangat minta maaf telah menganggu aktivitas Mas Alvin hari ini, tapi
kedatangan kami ke sini tentu dengan maksud baik, karena itu bisakah saya
mendapat alasan yang lebih jelas?”
Lelaki
itu tertegun. Bisa kusaksikan guratan rasa bersalah mewarnai wajahnya. Ia menarik
napas dan diam sejenak. Diam beberapa saat untuk sekedar menatapku. Aku tidak
tau apa yang tersimpan di otakknya, tapi tatapan itu terasa hangat buatku.
Tidak ada sebersit keinginan untuk marah atau membenci atas penolakannya.
“Saya
akan ceritakan semua pada Mbak Via. Jujur saja, saya yang meminta Pak Radit
untuk dicarikan seorang istri, tapi saya tidak bisa jika harus datang ke
rumahnya karena suatu alasan, dan saya juga baru tau setelah melihat Mbak Via,
bahwa seseorang yang datang pada saya adalah penulis yang cukup besar namanya.
Bukan saya bermaksud buruk, tapi saya takut Mbak Via kecewa dengan saya. Saya
takut pula Mbak Via tidak bisa menjalani aktivitas Mbak sebagai penulis setelah
menikah nanti.” Jelasnya dengan sopan.
Airmataku
mengancam keluar. Apakah sebegitu tinggi profesi seorang penulis, sehingga
banyak yang takut memiliki istri seorang penulis. Lagi-lagi aku tidak bisa
menerima alasan ini. Jelas aku menolak. Kenapa dia tidak bilang pada pak Radit
kalau dia tidak menginginkan wanita yang berkarir di dunia literasi? Kenapa
pula dia tidak memastikan terlebih dahulu siapa wanita yang datang padanya,
sehingga aku tidak merasa dipermalukan seperti ini.
“Apakah
profesi saya begitu menakutkan bagi Mas Alvin?” tanyaku
Dia
terdiam mengalihkan pandangan. Aku merasa ada yang ia sembunyikan. Entah apa,
tapi dari raut wajahnya aku bisa melihat ada beban berat yang sedang ia tahan
agar tidak tumpah.
“Mas,
saya memang seorang penulis. Aktivitas saya memang sangat banyak, bahkan
mungkin padat, tapi ketika saya benar-benar berniat untuk menikah, maka ketika
itu saya telah mempersembahkan seluruh waktu saya pada suami. Biarkan dia yang
memberi saya waktu untuk berkarya, karena ketika ijab dan qabul itu telah
terjadi, maka ketika itu hidup saya adalah miliknya.” Airmataku tumpah. Kalimat
itu meluncur begitu saja, dan jujur ada yang sesak.
“Ya
Allah, semua kembali padaMU.” Suara itu terdengar serak, dan kuketahui bahwa
mas Alvin menangis tertunduk sambil mengusap wajahnya.
Aku
semakin tidak mengerti. Ketika aku dalam kondisi seperti ini, justru bu Halimah
dan pak Radit diam tertunduk pula. Aku yakin mereka menyimpan sesuatu.
“Jujur
saya masih butuh alasan yang lebih jelas.”
“Mbak
Via.” Lelaki itu mengangkat wajahnya. Matanya sembab dan wajahnya nampak lelah.
“Bolehkan
saya bicara berdua dengan, Mbak?” tanya mas Alvin
Aku
sempat terdiam beberapa saat sambil menatap bu Halimah. Aku butuh izin darinya,
dan telah mendapat izin, barulah aku bisa mengangguk.
oOo
Kuikuti
saja langkah mas Alvin menuju pintu belakang rumahnya yang cukup besar. Di
belakang rumah itu terdapat kolam renang dan taman yang cukup luas untuk
bermain anak-anak. Kolam yang jernih berwarna biru sedikit menghanyutkan imajinasiku
yang ingin menceburkan diri di sana. Di sudut halaman terdapat gazebo dengan
kursi melingkar. Suasana halaman belakang nampak jauh lebih alami dari pada
halaman depan, meskipun memiliki kolam ikan di samping garasi mobil.
“Akan
saya kenalkan Mbak Via pada seseorang.” Katanya sambil berjalan, dan aku hanya
mengangguk.
Aku
masih berjalan di belakangnya, kami berjalan melewati koridor hingga berhenti
di depan pintu besar di samping tangga. Pintu ini menghadap langsung pada kolam
renang, dan di depan pintu terdapat dua kursi dan satu meja yang terbuat dari
kayu.
“Apakah
ini kamar seseorang?”
Mas
Alvin menatapku sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. Lagi-lagi ada goresan
kesedihan yang terpancar jelas dari wajahnya.
“Akan
kuungkapkan semua alasan pada Mbak Via, dan saya berharap Mbak bisa mengerti
ketika semua telah terbuka.”
Aku
mengerutkan alis, makin tidak faham. Namun hanya bisa mengangguk.
Dibalik
pintu itu pasti tersimpan semua alasan yang kuharapkan. Perlahan mas Alvin
menarik engsel pintu, dan udara hangat mulai berhembus dari dalam ruang yang
nampak sedikit gelap itu. Pintu semakin terbuka lebar, gambaran keadaan kamar
itu mulai terlihat, dan seketika itu aku tertegun melihat seseorang yang
berbaring di atas ranjang.
Perlahan
kuikuti langkah mas Alvin mendekati seseorang itu, dan kami berdiri di samping
ranjangnya. Tarikan napas kuat dari mas Alvin terdengar di telingaku. Aku tidak
tau siapa orang tersebut, tapi aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Model
wajah oriental dengan alis yang tebal.
“Dia
Mas Ryan. Apakah Mbak ingat?”
Degg.
Untuk yang ketiga kalinya jantungku beraktivitas tiga kali lebih cepat dari
sebelumnya. Ryan? Aku mengenal nama itu. Berusaha kuputar memoriku kembali,
hingga akhirnya aku mendapat jawaban siapa dia. Ya, Ryan adalah salah satu
penggemar novel-novelku. Beberapa kali ia datang di acara bedah buku dan
seminar menulis yang kuisi di beberapa tempat. Aku ingat betul terakhir kali
melihatnya, ia meminta tanda tanganku saat kami berjumpa di Gramedia Matraman
Raya.
“Saya
ingat.” Jawabku sambil menatap wajah pucatnya.
Mas
Alvin tersenyum, lalu menggeret kursi dan duduk di sampingnya.
“Mas
Ryan ini kakak saya. Dia sangat mengagumi Mbak Via. Dia memiliki semua novel
yang Mbak tulis, bahkan ratusan antologi milik Mbak ia punya. Ia begitu
mengagumi Mbak hingga pada suatu hari, ia meminta Pak Radit untuk melamarkan
dia pada Mbak.”
Tenggorokanku
tercekat. Ceritanya semakin sulit kuterima.
“Maksudnya?”
tanyaku menahan napas.
“Sebenarnya
yang ingin menikah dengan Mbak adalah Mas Ryan, dan inilah alasan kenapa dia
tidak bisa datang ke rumah Mbak, dan ini pula alasan kenapa saya menolak
kesepakatan ini.” Jelasnya membuat tubuhku terkulai lemas.
Entah
kenapa tiba-tiba airmataku meluncur.
“Saat
ia hendak datang ke rumah Mbak, kecelakaan terjadi hingga membuatnya seperti
ini. Jujur saya tidak berani mengatakan semua ini pada Pak Radit, melihat ia
begitu berantusias untuk membantu Mas Ryan. Saya baru bisa mengabarkan semua
sehari sebelum Mbak datang ke rumah ini.”
Tubuhku
terjatuh di samping ranjang. Jadi musibah itu karena aku. Seperti ada batu
granit yang menimpa dadaku. Sesak, dan ada yang nyeri.
“Sebulan
lalu, Mas Ryan mencari-cari seseorang yang bisa membantunya untuk datang ke
rumah Mbak. Atas saran dari temannya, Mas Ryan mendapat nomor telpon Pak Radit.
Meminta bantuan itu lewat telpon, tapi di perjalanan menjemput Pak Radit untuk
melamar Mbak, kecelakaan itu terjadi. Sejujurnya Pak Radit tidak tau apa-apa
tentang kondisi Mas Ryan, juga belum mengetahui seperti apa sosok Mas Ryan.
Setelah kejadian itu sayalah yang melanjutkan rencananya. Meskipun sedikit
berantakan. Untuk penolakan tadi, itu hanya cara saya untuk menilai seperti
Mbak Via. Jadi saya sangat memohon maaf.”
“Lalu,
untuk apa, Mas masih meminta saya datang ke sini?” suaraku sedikit tertahan.
“Karena
saya ingin Mbak menikah dengannya.”
Aku
kaget mendengar jawaban itu. Seketika tubuhku berdiri dan menatapnya tajam.
Bagaimana bisa ia memutuskan semudah itu? Apakah dia pikir aku ini barang yang
bisa dilempar sesuai keinginan dia. Jujur, aku tidak tau bagaimana perasaan
lelaki yang bernama Ryan itu, juga bukan keinginanku hingga ia seperti ini.
Namun sebersit rasa bersalah merayap-rayap dalam hatiku.
“Maafkan
aku, Mas. Aku tidak bisa meneruskan cerita ini.” Putusku lalu bergegas pergi
meninggalkan kamar itu. Aku tidak peduli beberapa kali dia memanggil. Bagiku
ini sangat konyol. Tidak logis sama sekali. Seolah-olah aku tokoh utama dalam
sebuah sinetron.
Tidak
ada yang bisa dipercaya. Aku merasa seperti boneka bagi mereka semua. Fine, aku memang sangat menghormati guru
ngajiku, tapi aku merasa sedikit kecewa dengan kejadian ini. Tidak seharusnya
mereka menutupi semua dariku. Pak Radit telah mengetahui kejadian pada mas Ryan
sehari sebelum aku datang, tapi dia tetap membiarkanku datang hingga mengalami
penolakan dari mas Alvin. Di lain hal aku bertemu sosok mas Ryan yang masih
dalam kondisi koma. Apalagi alasan dia seperti itu karena kecelakaan ketika
hendak mengajakku ta’aruf. Ya Tuhan, rasanya aku ingin menenggelamkan diriku ke
dasar bumi, dan membuag jauh memori hari ini.
oOo
Blok
B Pamulang, Tanggerang
Sejak
peristiwa itu aku sedikit pendiam. Sepertinya setengah dari semangatku hilang
entah kemana. Bu Halimah sempat meminta maaf atas kejadian itu. Aku berharap
semua segera pergi dari otakku, tapi aku salah besar, justru wajah mas Ryan melayang-layang dalam mimpiku. Untuk
menghapus semua itu, akau hanya bisa terus menyibukkan diri dengan pekerjaanku
sebagai penulis dan editor di salah satu penerbit besar di Jakarta. Sedang
ketika di kontrakan, aku merusaha melakukan kegiatan apapun, entah memasak atau
bersih-bersih.
“Aku
yakin lelaki itu tak bermaksud buruk, Vi.” Kata Dania teman sekontrakanku yang
telah kuceritakan semua.
Aku
hanya tersenyum tipis. Mungkin, tapi aku merasa ada yang perih.
“Tapi,
apakah kau tidak ingin memberi kesempatan pada Ryan?”
Pertanyaan
itu membuat aktivitasku mencuci piring tertahan. Sebelumnya aku sempat berfikir
begitu, tapi aku tidak begitu yakin dengan semua alasan yang mas Alvin berikan.
Aku takut ia hanya mengarang cerita. Tapi untuk apa?
“Kupikir
tujuan Alvin baik, Vi. Mungkin ia sempat menolak karena mengetahui kesibukanmu,
sehingga ia tak yakin kamu mau dengan kakaknya yang masih dalam kondisi koma.
Namun setelah ia mendengar pendapat kamu terkait sebuah pernikahan, ia
mempertimbangkannya kembali. Kupikir begitu.” Cecer Dania sambil mengupas
kentang di dapur kami yang sempit.
Piring
di tanganku terlepas dan jatuh ke dalam bak yang berisi air. Ya Allah, kenapa
aku tak berpikir sejauh itu. Ketika itu pandangan mas Alvin memang berubah
setelah aku menjelaskan niatku untuk menikah, mungkin dari situ ia ingin aku
menemui langsung kakaknya.
Kutarik
napas dalam-dalam. Begitu kejamkah aku jika mencoba menutup mata atas kejadian
ini. Mungkin rumit, apalagi dengan alasan mas Alvin yang simpang siur, tapi
setelah melihat sosok mas Ryan yang terkulai tak berdaya membuat separuh
jantungku berhenti beraktivitas, dan tanpa kusadari airmataku meluncur.
Jika
melihat niat awalku untuk menikah, maka tidak sepatutnya aku mengabaikan semua
ini. Toh semua juga bagian dari rencana Allah, hanya saja ia balut amat rumit.
Saat ini yang tersisa hanya penyesalan, tapi aku juga tidak berani untuk datang
kembali ke rumah itu. Aku pun tidak tau bagaimana kondisi mas Ryan sekarang.
Sudah seminggu berlalu setelah peristiwa itu. Aku tak yakin rumah itu masih mau
menerima kedatanganku.
“Vi,
ada tamu buatmu.” Kata Siska –teman sekontrakan juga– yang baru memasuki dapur.
“Tamu?”
aku mengerutkan alis.
“Dua
laki-laki. Satunya memakai kruk.”
Aku
kaget dan spontan langsung berdiri. Pikiranku tertuju pada dua bersaudara itu.
Tanpa pikir panjang aku memakai jilbab dan keluar dapur menuju halaman depan.
Mataku
terbelalak melihat dua lelaki yang sedang berdiri di depanku. Aku mengenal
mereka. Alvin bersama Ryan. Ya Allah, entah kenapa airmataku berhamburan
keluar. Kututup mulutku agar tak terdengar suara isak yang berusaha kutahan.
“Assalamualaikum.”
Salam itu keluar dari mulut mas Ryan.
Perlahan
aku mendekati lelaki dengan kruk di kaki kanannya itu. Kutatap wajah yang
sering kujumpai di acara bedah novelku. Dia tersenyum teduh dengan mata yang
masih sayu, dan beberapa detik kemudian kulihat airmata mengalir di pipinya.
Tatapannya terhadapku sangat dalam. Aku bisa merasakan harapan besar di sana,
bahkan mungkin rasa yang ingin ia ungkap.
“Maafkan
aku.” Ucap mas Ryan tertunduk.
Aku
tidak bisa menahan airmataku lagi. Tubuhku terguncang dan suara isak itu
berhamburan keluar.
“Apakah,
niat itu masih ada untukku?” tanyaku
Mas
Ryan mengangkat wajahnya. Nampaknya ia terkejut dengan pertanyaan itu, hingga
airmata itu bisa kulihat kembali.
“Apakah
dengan keadaanku seperti ini, kau bisa menerimaku?”
Aku
hanya mengangguk, dan seketika itu tubuh mas Ryan terjatuh. Dalam keadaan payah
ia berusaha bersujud syukur. Mencium tanah di depannya sambil menangis, dan
ketika itulah aku tau betapa ia serius padaku, dan pula aku tau bahwa dia
memang skenarion indah yang Allah tuliskan untukku.
Maka
sejak saat itu, kutata ulang waktuku kembali, dan kuserahkan penuh padanya.
Kupersembahkan hidupku setelah ijab dan qabul itu berlangsung.
Jember,
30 November 2013.
Juara 1 Lomba Cerpen LeutikaPrio 2014
0 komentar:
Posting Komentar