24 BEST SELLER BOOKS
Ulin Nurviana
Baturetno Bunguntapan, Yogyakarta
2016
Aku
masih setia duduk di depan komputer. Sudah enam jam aku beraktivitas di depan
layar. Kantong mataku mulai melebar. Siapa peduli, yang penting naskahku
selesai malam ini juga dan besok bisa aku setorkan ke penerbit. Target dua
puluh empat buku terlaris harus terealisasikan sebelum umurku dua puluh empat
habis.
Kertas
dan beberapa buku berserakan. Jam menunjukkan pukul 02.00 WIB. Namun tak
sedikit pun aku merasa mengantuk. Semangatku terus meledak-ledak. Tak peduli
teman satu kos sudah pada tidur semua. Tidak boleh lengah apalagi terbujuk
rayuan setan. Dua ratus halaman harus sudah teredit rapi.
“Vi,
kamu gak tidur?”
Aku
cukup terkejut dan segera menoleh. Rena teman satu kamarku ternyata terjaga.
“Nanti
setelah editanku selesai.” Jawabku
Rena
kembali menarik selimutnya. Ia sudah tahu aktivitasku, meskipun tiap malam
masih terjaga dan bertanya. Dia sahabat yang baik. Sudah tiga tahun ini aku
satu kos dengannya.
Waktu
masih berjalan. Selesai mengedit dan memperbaiki semua, naskah tersebut segera
aku print. Sambil nunggu print selesai, aku tidur sejenak. Bukan
karena rasa kantuk, melainkan harus tidur sejenak sebelum aku sholat tahajut
jam tiga pagi nanti.
Sudah
tiga tahun aku berada di Surakarta. Bekerja sebagai salah satu editor di
penerbit nasional sekaligus menyelesaikan kuliah S2 ku di Jurusan Psikologi.
Sudah lima belas novel teentit aku terbitkan. Tiga buku motivasi dan antologi
yang tak terhitung lagi jumlahnya. Pendek kata aku sudah menjadi seorang
penulis yang cukup dikenal di negri ini, terutama penggila teenlit dan
funfiksion. Enam novel terbitanku bergenre Jepang dan Korea, lalu sisanya genre
lokal. Keenamnya menjadi best seller.
Novel
pertama yang menjadi best seller berjudul DISTURBANCE, lalu menyusul
novel-novel genre K-Pop. Beberapa novel motivasi lokal juga menjadi best
seller. Dua belas dari novel terbitanku menjadi novel terlaris. Sayangnya belum
satu pun buku-buku nonfiksi yang aku keluarkan menjadi best seller. Nampaknya perjalananku
masih panjang. Namun aku tidak akan sedikit pun menggeser mimpiku. Menjadi
penulis paling produktif dan pencetak novel-novel best seller.
Lima
novel fantasiku sedang melalangbuana berusaha menembus beberapa penerbit
nasional, hingga internasional. Sudah menjadi kamusku, jika novel fantasi yang
aku keluarkan ditolak oleh para penerbit, maka tujuanku selanjutnya adalah
penerbit yang ada di Malasya, Singapura dan bahkan Jepang. Tentunya sebelum itu
aku bongkar terlebih dahulu bahasa yang aku gunakan.
oOo
Aku
sholat tahajut hingga kulanjutkan sholat subuh. Aku masih terus berperang untuk
masa depan. Tujuanku tahun ini adalah memberangkatkan orang tuaku haji.
Membiayai full kuliah adikku di Institute Teknologi Bandung dan
mendistribusikan dua ratus buku ke sekolah-sekolah yang ada di kampungku,
bahkan aku ingin mendirikan sekolah gratis menulis untuk anak-anak yang tidak
mampu. Semua itu dari dana royalti yang aku dapatkan. Bismillah, untuk dakwah.
Apa yang tidak mungkin.
“Ya
Rohman, Vi. Kamu benar-benar tidak tidur lagi tadi malam?” tanya Rena yang baru
bangun dan masih duduk di atas kasur.
Aku
tersenyum sambil merapikan naskah yang sudah selesai di-print.
“Aku
tidak bisa membayangkan kalau aku jadi kamu.” Gumamnya
“Beruntungnya
kamu bukan aku ya, Non.” Sahutku
“Lihat
itu matamu! Indikator pekerja keras.”
“Aku
harus mengumpulkan banyak uang demi mimpi-mimpiku, Rena. Tahun ini harus bisa.
Bismillah..”
“Bukankah
kamu sudah banyak uang? Lihat tabunganmu, sudah tidak memiliki tempat lagi
untuk menampung hasil royalti yang kamu dapat.”
“Itu
bukan uang milikku, Ren. Itu uang untuk dakwah. Untuk orang tua dan adikku. Aku
masih membutuhkan banyak dana untuk memberi ratusan buku yang aku sebar secara
gratis. Aku ingin bangsa ini cinta membaca. Ah pokoknya perjalanan masih
panjang. Tidak ada waktu untuk santai-santai.
“Oke..
aku doain kelak suamimu adalah pengusaha sukses, agar bisa membantumu
mewujudkan mimpi-mimpi besarmu itu.”
“Amin..
itu menggoda atau memotivasi?” tanyaku sambil melirik Rena.
Rena
malah tertawa, lalu turun dari kasur dan duduk di depan komputer. Belum cuci
muka sudah ngapeli mbah Google.
Mentang-mentang sedang kedatangan tamu, jadi bangun seenaknya.
“Vi,
katanya Presiden Direktur mau merayakan ulang tahun pernikahannya di Jepang
lho. Keren banget itu orang.” Rena mulai menggosip.
“Terus?”
tanyaku
Rena
langsung memutar kursinya, menghadap ke arahku yang duduk di lantai di
belakangnya.
“Kabar-kabarnya
kru redaksi bakal diajak liburan ke Jepang.”
Aku
langsung mendelik. Liburan? Ke Jepang? Menghabiskan berapa dolar?
“Kamu
dapat cerita dari mana? Bisa menghabiskan ratusan juta kalau mau membawa kru
liburan ke Jepang.” Sahutku tidak percaya.
“Pak
Presdir kaya raya. Internet marketer, Buk. Aku berharap kita bisa liburan ke
Jepang.” Rena mulai menghayal.
“Sudah
ngegosipnya. Bukain e-mail-ku dong,
Ren! Aku mau lihat pemberitahuan hari ini. Ditolak atau diterima naskahku.”
Perintahku
Rena
segera membuka Yahoo mail, dan ada
beberapa e-mail masuk dari beberapa penerbit yang menyeleksi naskahku. Satu per
satu aku buka isi e-mail itu. Dua novel Islamiku diterima dan dua novel
fantasiku ditolak. Aku menghela nafas. Kenapa begitu susah menerbitkan novel
fantasi di negri ini.
“Lihat
itu pesan dari penerbit! Apa lagi yang kamu inginkan, Vi? Namamu sudah mebuming
bak bang Terelie. Masih meminta jatah lebih.” Cerocos Rena
“Aku
ingin novelku di film kan.” Sahutku
Rena
mendelik, dan menarik tubuhnya menjauhiku yang sedang berdiri di sampingnya.
“Huaaah..ambisius
banget!” tukasnya
“Aku
tidak ada waktu untuk ngegosip. Pagi ini aku ada bedah buku dan ngisi seminar
kepenulisan di Universitas Yogyakarta. Jadi aku harus segera mandi.” Putusku
sambil me-log out e-mail-ku, lalu bergegas keluar kamar.
“Jangan
lupa nanti siang rapat redaksi!” teriak Rena
oOo
Sebelum
berangkat, aku menelpon orang tuaku dulu yang ada di Banyuwangi. Memberi kabar
kalau uang untuk naik haji dan kuliah adikku sudah aku transfer. Hatiku sangat
bahagia mendengar suara mereka. Aku yakin orang tuaku senang, karena sebentar
lagi bisa naik haji. Mendengar suara mereka membuatku semakin semangat untuk
mengejar mimpi selanjutkan.
Royalti
hasil menulis sebanyak 80% aku gunakan untuk kepentingan sosial dan dakwah.
Sisa persenannya aku gunakan untuk memenuhi kebutuhanku kuliah. Jadi aku jarang
sekali menghamburkan uang untuk belanja baju dan lain-lain, karena 20% itu
untuk kebutuhan yang memang penting, karena seluruh uang yang aku miliki itu
adalah titipan Allah, jadi aku harus menggunakan uang tersebut dengan
sebaik-baiknya.
“Kamu
tidak sarapan dulu, Vi? Aku siapkan makanan buatmu.”
“Tidak
usah, aku makan di luar saja. Buru-buru ni.”
Aku
langsung menyambar tas dan berlari pergi menunggu angkot menuju UNY.
mana yang punya blog kog pernh pernah update tulisan terbarunya?
BalasHapus