Kamis, 28 Januari 2016

Kenapa kita harus berpisah?


Kadang hati menolak melupakanmu, tapi apa yang bisa kulakukan?
Menunggumu dalam sepi?
Menunggumu dalam ketidakpastian?
Atau menunggumu dalam tangisan doa?

Sudah..
Aku mulai lelah..
Kita mungkin tidak perlu saling melupakan
Tak perlu saling menunggu..
Hanya saling menerima apa yang sudah menjadi ketentuan. NYA

Rabu, 27 Januari 2016

Tentang Kamu

Tentang Kamu

Biarkan waktu yang menghapus rasa ini
Biarkan waktu yang menjawab semua...
Pada siapa tulang rusuk kembali..

Jangan khawatir..
Aku baik-baik saja..
Meskipun sakitnya masih amat terasa..
Kamu bilang, "Mari berlatih untuk saling menjauh."
Tentu saja..
Karena kita tidak tau takdir kita di masa depan..
Dengan siapa kamu? Dengan siapa aku?
Allah telah menuliskan takdir kita..
Bisa jadi dengan nama yang sama, atau nama yang lain..

Sudahlah..
Aku pasti baik-baik saja..
Jangan merasa bersalah..
Karena akulah yang memulai rasa ini..

Pelan-pelan kita lupakan semua

Kamis, 07 Januari 2016

Last Love


Satu jam berlalu. Mataku masih sembab. Menerkam bayangan masa lalu yang coba aku usik kembali. Airmataku tidak mau mati, menahan sesak pula. Sudah berlalu sejak dia menelan seluruh nafas hidupnya. Tidak akan ada lagi suara, bayangan dan senyum itu. Semua telah mati. Telah tenggelam di dasar bumi. Dia telah pergi. Meninggalkan segala bongkahan rasa yang ada.
“Aku merindukanmu.”
Hanya kata itu yang selalu aku ungkap tiap berdiri di depan nisannya. Tidak ada isak yang deru, tapi hanya sebongkah kebisuan hingga berjam-jam berlalu. Rasaku telah pergi. Tidak akan ada kenangan datang kembali. Aku terpaksa mengubur senyum indah yang dulu ada, karena kini hanya airmata yang tersisa.
Andai logika ini bisa menerima. Aku ingin pergi ke duniamu. Dunia yang kata orang kekal dan penuh keajaiban. Surga kah itu? Aku ingin datang ke sana bersamamu. Mungkinkah sekarang kau ada di sana. Dadaku mulai sesak. Ya, mungkin kamu di sana dan sedang tersenyum mengawasiku. Kuharap kau juga merindukanku. Sungguh, rasa terkubur selama lima bulan ini bagiakan onggokan besi yang hendak menyempitkan dadaku.
Aku usap airmataku perlahan. Memahami keadaan. Aku mungkin sudah gila dengan cinta ini. Tidak ada kepastian kapan akan berakhir masa gelap ini. Jujur aku ingin menyusulmu, karena kutahu kau satu-satunya lelaki yang bisa menerimaku. Bagiku kau seperti burung camar, dan aku kapal di lautan. Suaramu mampu merubah haluanku.
Lima bulan sebelum kematiamu, kau adalah sosok pembeda. Saat kondisiku tak layak untuk dicintai, tapi kau menerimaku dengan baik. Kau pernah bilang, “Rasaku tak melihat ragamu.”
 Airmataku mengalir. Aku benar-benar melihat ketulusan sesungguhnya darimu. Kau mengajariku berdiri, menuntunku berjalan dan mengajariku menikmati indahnya hidup. Aku fikir setelah peristiwa pahit itu hidupku akan gelap, tapi tidak. Tuhan menghadirkan sosokmu di duniaku. Sosok yang selalu menebar senyum dan motivasi, hingga kakiku mampu berjalan kembali. Aku begitu menyadari, bahwa kau sungguh malaikat yang diturunkan Tuhan.
“Aku hadir untuk membuatmu tersenyum.”
Jantungku nyaris melompat. Sesak berat semakin menyiksa. Kalimat itu sungguh sisa kenangan yang perih untuk diterima. Kenyataan tak sesuai keinginan kita. Kematian mengubah semua.
“Ayo pulang, Ka.”
Aku faham suara siapa itu. Maya sahabatku, tapi aku tidak peduli. Aku ingin tetap berlama-lama di depan nisan ini. Mengusik kembali kenangan. Siapa tahu dia akan kembali, walau kedengarannya mustahil. Namun entah kenapa aku memiliki keyakinan kuat, bahwa dia akan datang. Setidaknya untuk memelukku selama semenit atau kurang dari itu. Tidak apa, asalkan aku melihatnya.
“Kamu sudah lima jam di makan ini. Apakah setiap hari kamu akan menghabiskan lima jam waktumu untuk duduk di sini. Danny tidak akan kembali. Dia sudah mati, Reka!”  tegas Maya, dan nada suaranya meninggi saat kalimat terakhir.
Aku masih tidak peduli. Aku tahu semua orang bilang dia sudah mati. Aku juga tahu dia sudah dimakamkan dan jasatnya sudah menjadi tanah. Tiga bulan, bagiku dia tidak bisa dikatakan mati. Mungkin saja dia masih hidup, atau mungkin aku sudah gila. Itu yang sering dikatakan orang disekitarku.
“Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Aku sudah lelah setiap hari menasehatimu. Silahkan tidur di sini dan menangis sepuasmu!”
Maya mulai meninggalkanku dan aku masih duduk setia. Sudah tiga bulan dia menjemputku tiap aku datang ke makam, dan tiga bulan pula aku tidak pernah mau pulang bersamanya. Aku pulang sendiri setelah aku puas merenung.
oOo

Jam terus berputar, matahari mulai menutup sebagian wajahnya. Namun aku masih tak lelah menunggu. Entah kenapa aku merasa yakin dia akan datang. Butiran airmata mengalir kembali. Udara dingin menyambut malam. Pasti dia kesepian. Di makan ini ia tidak punya teman. Aku ingin menemaninya. Kalaupun dia tidak datang malam ini, mungkin besok atau lusa. Aku akan tetap menunggunya. Ini caraku mencintainya, seperti caranya mencintaku, saat aku tidak bisa berjalan.
Aku berusaha bertahan meski masih hayalan tentang sosoknya yang bakal datang. Namun mataku tak mampu memberikan jawaban. Tubuhku mulai merasakan kelelahan yang amat sangat, sehingga tak lama dari itu aku terjatuh dan tertidur di samping makam Danny.
Entah apa yang terjadi setelah itu, tapi aku melihat sosoknya. Aku sedang berdiri di sebuah padang rumput nan hijau dan luas. Kutatap lelaki yang sedang berdiri di depanku dengan penuh deraian airmata. Ingin aku berlari untuk memeluknya, tapi semua terasa kaku. Otakku tak mampu memerintahkan anggota tubuh, sehingga aku hanya terdiam dengan nafas nyaris putus.
“Da.. Da.nny..” suaraku terasa berat
Lelaki itu tersenyum lebar dan berjalan mendekatiku. Ia meraih tanganku dan meletakkannya di atas dadanya. Tidak ada degup jantung yang bisa kurasakan. Semua terasa dingin dan diam.
“Jantungku sudah tidak lagi berdetak. Tahukah kau apa artinya itu?”
Pertanyaan itu membekukan jantungku. Aku tahu apa itu, tapi mulutku bungkam. Aku tidak akan menjawab, karena aku tidak yakin dia sudah mati.
“Percayalah dengan apa yang kau lihat. Aku tidak akan datang lagi. Kau tidak perlu menungguku.” Katanya
Aku mencoba menggerakkan tubuhku. Jelas aku menolak hal itu. Mataku melotot. Tanganku mengepal dan airmataku mengancam akan keluar. Namun dia tersenyum teduh. Seolah-olah semua baik-baik saja.
“Ini akhir cinta kita.”
“Tidaaak...!!!” teriakku sekencangnya
“Akan datang masa yang jauh lebih indah dari masa yang kita lalui.” Katanya lalu memegang kepalaku. Masih dengan senyum, ia berhasil melumpuhkan seluruh saraf dan organ tubuhku, hingga aku tidak mampu bicara. Ia mulai memejamkan kedua mataku dengan tangannya.
“Aku mencintaimu, Reka.”
Untuk yang terakhir kalinya aku masih mendengar kalimat itu, tapi setelah itu, semua terasa gelap dan telingaku tidak lagi mampu mendengar apapun. Kubuka mata dan hanya kegelapan yang hadir. Bayangnya telah pergi, dan aku harus terpaksa meyakini bahwa dia memang sudah mati.
oOo

The Day After Tomorrow
Langit gelap hari itu, tapi hujan belum juga turun. Aku berdiri di Halte dekat tempat kerjaku di daerah Jakarta Selatan. Aku tatap awan gelap tersebut. Masih menyisakan luka. Siapa bilang aku sudah normal dengan mempercayai kenyataan. Tidak.. sama sekali tidak. Mungkin otakku meyakini, tapi tidak dengan hati dan cintaku.
Hujan mulai turun sangat deras. Seorang lelaki berlari menuju Halte dan duduk tidak jauh dariku. Ia membersihkan kemeja dan rambutnya dari butiran hujan. Aku sempat menoleh, dan saat itu ia juga sedang menoleh ke arahku. Mata kami bertemu. Namun aku segera mengalihkan pandangan.
Ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari ibuku.
Cepat pulang ya, Ka. Akan ada tamu penting untukmu
Tamu penting? Aku ingat kata-kata orang tuaku minggu lalu, bahwa mereka ingin memperkenalkanku pada seseorang. Sebenarnya itu cara mereka untuk membantuku melupakan Danny. Tidak akan berpengaruh untukku.
“Mbak mau ke mana?” lelaki itu bertanya
Aku menoleh. Terdiam sejenak. Orang ini sok kenal ya.
“Tidak tahu, yang pasti tidak pulang ke rumah.” Jawabku ketus
“Maksudnya tidak kembali bagaimana?” lelaki itu mengerutkan alis.
Aku mendesah, dan memutuskan untuk tidak menjawab. Jujur, setelah kepergian Danny aku tidak punya keinginan untuk berteman atau dekat-dekat dengan laki-laki lain. Aku takut cintaku berubah.
Lelaki itu menghela nafas lalu tersenyum.
“Saya tidak tahu apa yang sedang Mbak fikirkan, dan mohon maaf kalau saya lancang bertanya begitu.” katanya dengan nada sopan.
“Terserah, yang pasti aku tidak akan pulang ke rumah yang menambah beban dalam hidupku.” Jawabku masih ketus
Lelaki itu mungkin terkejut. Terbukti dari cara ia melihatku. Seperti menyimpan tanda tanya besar dan penasaran.
“Saya tidak tahu apa yang sedang Mbak alami. Kalau boleh saya memberi masukan. Sebenarnya beban itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan keindahan hidup ini.”
Kalimat yang ia utarakan membuat kupingku panas. Siapa dia berani menasehatiku. Namun aku memilih diam. Biarkan dia mengoceh.
“Kadang, Tuhan memberikan kita mendung dan hujan yang deras, agar kita bisa melihat pelangi. Meskipun caranya kadang tidak kita suka.” Tambahnya
Aku kaget bukan main. Kata-kata itu pernah diucapkan Danny saat aku sakit dulu. Aku langsung menoleh dan dia tersenyum lebar melihatku. Seketika jantungku seperti berhenti berdetak. Senyum itu dan sorot matanya yang teduh, sungguh sama dengan Danny. Mungkinkah...
“Tetap semangat ya Mbak. Maaf, saya harus pergi terlebih dulu. Teman saya sudah datang.”
Lelaki itu langsung berlari menerjang hujan menuju mobil putih yang berhenti di seberang jalan. Dia meninggalkan ribuan pertanyaan di otakku. Beberapa saat kemudian bus datang dan aku segera masuk. Aku putuskan untuk pergi ke makam Danny. Barang kali aku bisa mengusir semua fikiran konyol yang baru saja terlintas.
oOo

Aku berdiri di depan makamnya. Menarik nafas panjang. Entah kenapa wajah lelaki itu kembali muncul disaat aku ingin mengingat Danny. Aku segera menggelengkan kepala. Jangan sampai ada racun yang melumpuhkan memoriku tentang Danny.
“Bodoh... aku harus segera melupakan semua ini.”
Ponselku berbunyi. Aku tahu itu telpon dari orangtuaku. Tamu mereka pasti sudah datang. Lelaki yang mungkin ingin dijodohkan denganku. Aku abaikan telpon itu sampai beberapa kali, hingga telingaku penat dan aku pun terpaksa mengangkatnya.
“Hallo..”
“Reka, Ibu mohon pulanglah! Setidaknya kau menghargai tamu yang hendak bertemu denganmu. Terserah apa keputusanmu nanti. Ibu hanya ingin kamu pulang untuk melihatnya. Kasihan dia sudah menunggu.” Ibu terus ngomong tanpa henti, padahal aku belum mengatakan setuju, ia sudah menutup telponnya.
Akhirnya aku putuskan untuk pulang. Bagimanapun juga aku masih punya hati dan tahu cara berbakti pada orang tua.
oOo

Aku langsung menuju taman belakang rumah. Bisa kulihat seorang lelaki sedang ngobrol bersama ibu sambil melihat bunga-bunga di sana. Ibu tersenyum melihat kedatanganku.
Seperti ada kuda terbang di depanku. Mataku terbelalak melihat siapa sosok itu. Lelaki yang baru saja aku lihat di Halte. Lelaki yang mengingatkanku pada Danny. Diatersenyum melihatku. Tiba-tiba saja tubuhku kaku dan jantungku berdegup kencang. Apa yang sedang dilakukan jantungku? Kenapa rasa ini kembali muncul saat Danny sudah tidak ada.
“Ibu tinggal ya.”
Ibu langsung pergi setelah mengatakan itu. Meninggalkan kami berdua. Entah kenapa semua terasa sempit. Mataku berkeliling mencari perlindungan. Tidak mungkin secepat ini berubah.
“Ternyata kita bertemu kembali.” kata lelaki itu
Aku terus mengalihkan pandangan. Tak kubiarkan mataku melihat sosoknya. Aku takut teracuni, ternodai dan membunuh cintaku untuk Danny. Namun lelaki itu berjalan mendekatiku dan berdiri di depanku.
“Aku sudah tahu tentangmu.”
Aku masih mengalihkan pandangan. Terserah apa katanya. Toh aku tahu kalau lelaki itu pandai membual.
Last Love? Kata siapa cinta sudah berakhir?” lelaki itu bertanya
Aku bengong. Siapa yang mengajarinya bertanya begitu? Itu kalimat yang pernah Danny ucapkan juga. Orang ini. Siapa sebenarnya orang ini. Aku langsung menoleh ke arahnya.
“Da..Da..nny..?” suaraku tercekat



Jember, 29 Mei 2013
Karena cinta, tidak akan meninggalkan hati
yang sedang terluka