Minggu, 20 Desember 2015

MACCHIATO, CARAMU MENGHAPUS LUKAKU


MACCHIATO, CARAMU MENGHAPUS LUKAKU
Ulin Nurviana

Aku tertegun sesaat menatap macchiato yang terhidang sejak lima belas menit yang lalu. Gelas tingkat itu berdiri kokoh di depanku, seolah memintaku tetap duduk di sana. Endapan susu di atas espresso membuat otakku kembali membuka labirin-labirin masa lalu. Ya, masa saat kau membuka betapa aroma macchiato berhasil membuka hati yang nyaris membeku karena luka. Luka pahit yang sempat membara dan melukai rasa, hingga bertahun-tahun tak lagi kuhirup aromanya. Cinta yang kata orang bagai aroma biji kopi yang telah usai ditumbuk.
Macchiato bukanlah jenis kopi kesukaanmu, karena yang kutahu kau penggila kopi luwak. Kopi yang merajai masyarakat Indonesia, terutama masyarakat bawah. Itu kamu, kamu berasal dari golongan itu, golongan bawah pecinta kopi luwak. Aku jelas tak suka kopi, apalagi kopi luwak. Namun kutemukan hal lain dari dirimu, justru aroma kopi luwak yang menguap dari tubuhmu telah menutup lukaku. Luka yang digali oleh lelaki sebelum kamu. Kubuka slide saat itu, saat kau membuka labirin hatiku dengan macchiato-mu.
“Kopi telah mengubah dunia, Ne.” begitu katamu sambil menghidangkan beberapa cup yang berisi berbagai jenis kopi yang diramu secara berbeda-beda, mulai dari kopi luwak hingga Frappuccino.
“Cobalah satu dari mereka, aku yakin kau suka.” Kau memaksaku untuk menyeruput satu dari cup-cup yang kau tata di mejaku. Meja yang kupesan satu jam yang lalu di Coffee shop tempat kau kerja. 
Aku masih diam menatap mereka. Tidak ada yang menarik, bahkan coffee latte yang kau hidangkan dengan hiasan manis pun tak membuat lidahku goyah. Aku tidak mau luka masa lalu itu tersingkap kembali.
“Aku akan menunggumu, sampai kau mau menyicipi satu dari kopi yang kuhidangkan.” Katamu sambil menatapku.
Aku tidak tau apa yang ada di otakmu, sehingga kau rela meninggalkan pekerjaanmu hanya untuk menungguku menyeruput satu dari kopi-kopi itu. Aku tahu betul kau telah bersusah payah menggambar hiasan manis di atas latte dan tentunya dengan penuh ketulusan menyuguhkan secara sempurna di atas mejaku. Namun, entah sampai kemenit berapa, aku tak juga menyentuh satu dari mereka. Tatapanku kosong, tak ingin mengurung ingatan pahit yang melukai itu.
“Cobalah ini! Ini namanya Macchiato.” Kau tak menyerah sambil menggeser cup berisi macchiato ke arahku. Lebih dekat.
Kutatap macchiato yang kau sodorkan. Ada bayangan lelaki itu di atas susu yang mengendap. Tergambar jelas saat rasa ini disia-siakan, dan itu membuatku membuang muka. Aku ingat betul, lelaki bernama Renzhi –masa laluku– adalah pecinta kopi. Ya, sama sepertimu, dan itulah alasan aku tak ingin menyicipi kopi-kopi itu.
“Apa seumur hidup kau akan membenci kopi, Ne?”
Pertanyaanmu membuatku tertegun sesaat. Bahkan tatapanmu membuatku tak yakin untuk mengabaikannya kali ini.
“Kau tak tau aku, Loran.”
“Aku tahu kamu, Nelsa. Bahkan jauh lebih tau dari yang kau bayangkan. Lelaki itu bukan alasan untukmu membenci kopi.” Tegasmu, kulihat matamu berkaca-kaca.
Loran, kau memang tau semua masalahku, tau alur kisah rumit yang pernah kujalani, dan tau betul aku perempuan seperti apa. Lima tahun bersamamu mengukir banyak peristiwa yang membuatku tau apa itu sahabat.
Macchiato ini akan membantumu melupakan semua.” Kau kembali menggeser cup macchiato itu, terus memintaku mencicipinya, hingga entah pada detik keberapa tanganku mulai meraih cup berwarna coklat itu. Kutatap endapan susu di atas espresso dan perlahan mulai menyeruputnya.
Macchiato, kukupas habis memori masa dan luka itu. Slide-slide masa lalu terbuka dan membuka tabir luka yang masih terkunci rapat, luka yang tak kunjung padam karena terselip entah di sudut jantung yang mana, dan kini telah terbongkar. Aroma macchiato berhasil melelehkan airmataku. Ini kah rasanya kopi? Minuman yang tak kusentuh sekalipun selama tiga tahun ini.
“Aku akan menemanimu, Ne. Menelusuri sudut memori yang membuatmu tersesat.”
Kini airmataku benar-benar tumpah. Bukan karena slide-slide luka itu terbuka, tapi karena kalimat yang kau rangkai. Kutahu bagaimana perasaanmu, dan aku masih membisu terhadapmu. Tak ingin buka mulut atas rasa yang tak bisa kuraih seutuhnya seperti aku dan Renzhi.
Perlahan, seiring terbukanya semua memori itu, aku bertahan untuk masih duduk setia menunggumu. Ya, menunggu Loran dengan secangkir macchiato di depanku. Telah kututup ceritamu ketika itu, saatnya kubuka lembar detik ini. Lembar baru tanpa ingatan segorespun tentang Renzhi. Telah tertutup semua sejak macchiato merayap dalam lidahku. Sejak pula kau katakana akan menemaniku menelusuri rimba hati yang membuatku tersesat. Kini telah kutemukan kuncinya. Aku tidak akan lagi tersesat Loran, tidak akan lagi mengingat masa pahit itu.
“Aku menunggumu, Loran. Seperti kamu yang masih setia menunggu hatiku.”
Kupejamkan mata, berusaha merasakan kehadirannya. Dan entah pada detik keberapa kurasakan kehangatan merayap dalam tubuhku. Kubuka mata perlahan, dan kusaksikan kau tersenyum di depanku.

Jember, 14 Februari 2014
Karena kau yang menyimpan rasaku


0 komentar:

Posting Komentar