MACCHIATO,
CARAMU MENGHAPUS LUKAKU
Ulin Nurviana
Aku tertegun sesaat
menatap macchiato yang terhidang
sejak lima belas menit yang lalu. Gelas tingkat itu berdiri kokoh di depanku,
seolah memintaku tetap duduk di sana. Endapan susu di atas espresso membuat otakku kembali membuka labirin-labirin masa lalu.
Ya, masa saat kau membuka betapa aroma macchiato
berhasil membuka hati yang nyaris membeku karena luka. Luka pahit yang sempat
membara dan melukai rasa, hingga bertahun-tahun tak lagi kuhirup aromanya. Cinta
yang kata orang bagai aroma biji kopi yang telah usai ditumbuk.
Macchiato
bukanlah jenis kopi kesukaanmu, karena yang kutahu kau penggila kopi luwak.
Kopi yang merajai masyarakat Indonesia, terutama masyarakat bawah. Itu kamu,
kamu berasal dari golongan itu, golongan bawah pecinta kopi luwak. Aku jelas
tak suka kopi, apalagi kopi luwak. Namun kutemukan hal lain dari dirimu, justru
aroma kopi luwak yang menguap dari tubuhmu telah menutup lukaku. Luka yang
digali oleh lelaki sebelum kamu. Kubuka slide
saat itu, saat kau membuka labirin hatiku dengan macchiato-mu.
“Kopi telah mengubah
dunia, Ne.” begitu katamu sambil menghidangkan beberapa cup yang berisi
berbagai jenis kopi yang diramu secara berbeda-beda, mulai dari kopi luwak
hingga Frappuccino.
“Cobalah satu dari
mereka, aku yakin kau suka.” Kau memaksaku untuk menyeruput satu dari cup-cup
yang kau tata di mejaku. Meja yang kupesan satu jam yang lalu di Coffee shop tempat kau kerja.
Aku masih diam menatap
mereka. Tidak ada yang menarik, bahkan coffee
latte yang kau hidangkan dengan hiasan manis pun tak membuat lidahku goyah.
Aku tidak mau luka masa lalu itu tersingkap kembali.
“Aku akan menunggumu,
sampai kau mau menyicipi satu dari kopi yang kuhidangkan.” Katamu sambil
menatapku.
Aku tidak tau apa yang
ada di otakmu, sehingga kau rela meninggalkan pekerjaanmu hanya untuk
menungguku menyeruput satu dari kopi-kopi itu. Aku tahu betul kau telah
bersusah payah menggambar hiasan manis di atas latte dan tentunya dengan penuh
ketulusan menyuguhkan secara sempurna di atas mejaku. Namun, entah sampai
kemenit berapa, aku tak juga menyentuh satu dari mereka. Tatapanku kosong, tak
ingin mengurung ingatan pahit yang melukai itu.
“Cobalah ini! Ini
namanya Macchiato.” Kau tak menyerah
sambil menggeser cup berisi macchiato
ke arahku. Lebih dekat.
Kutatap macchiato yang kau sodorkan. Ada
bayangan lelaki itu di atas susu yang mengendap. Tergambar jelas saat rasa ini
disia-siakan, dan itu membuatku membuang muka. Aku ingat betul, lelaki bernama
Renzhi –masa laluku– adalah pecinta kopi. Ya, sama sepertimu, dan itulah alasan
aku tak ingin menyicipi kopi-kopi itu.
“Apa seumur hidup kau
akan membenci kopi, Ne?”
Pertanyaanmu membuatku
tertegun sesaat. Bahkan tatapanmu membuatku tak yakin untuk mengabaikannya kali
ini.
“Kau tak tau aku,
Loran.”
“Aku tahu kamu, Nelsa.
Bahkan jauh lebih tau dari yang kau bayangkan. Lelaki itu bukan alasan untukmu
membenci kopi.” Tegasmu, kulihat matamu berkaca-kaca.
Loran, kau memang tau
semua masalahku, tau alur kisah rumit yang pernah kujalani, dan tau betul aku
perempuan seperti apa. Lima tahun bersamamu mengukir banyak peristiwa yang
membuatku tau apa itu sahabat.
“Macchiato ini akan membantumu melupakan semua.” Kau kembali
menggeser cup macchiato itu, terus
memintaku mencicipinya, hingga entah pada detik keberapa tanganku mulai meraih
cup berwarna coklat itu. Kutatap endapan susu di atas espresso dan perlahan mulai menyeruputnya.
Macchiato,
kukupas habis memori masa dan luka itu. Slide-slide
masa lalu terbuka dan membuka tabir luka yang masih terkunci rapat, luka yang
tak kunjung padam karena terselip entah di sudut jantung yang mana, dan kini
telah terbongkar. Aroma macchiato
berhasil melelehkan airmataku. Ini kah rasanya kopi? Minuman yang tak kusentuh
sekalipun selama tiga tahun ini.
“Aku akan menemanimu,
Ne. Menelusuri sudut memori yang membuatmu tersesat.”
Kini airmataku
benar-benar tumpah. Bukan karena slide-slide
luka itu terbuka, tapi karena kalimat yang kau rangkai. Kutahu bagaimana
perasaanmu, dan aku masih membisu terhadapmu. Tak ingin buka mulut atas rasa
yang tak bisa kuraih seutuhnya seperti aku dan Renzhi.
Perlahan, seiring
terbukanya semua memori itu, aku bertahan untuk masih duduk setia menunggumu.
Ya, menunggu Loran dengan secangkir macchiato
di depanku. Telah kututup ceritamu ketika itu, saatnya kubuka lembar detik ini.
Lembar baru tanpa ingatan segorespun tentang Renzhi. Telah tertutup semua sejak
macchiato merayap dalam lidahku.
Sejak pula kau katakana akan menemaniku menelusuri rimba hati yang membuatku
tersesat. Kini telah kutemukan kuncinya. Aku tidak akan lagi tersesat Loran,
tidak akan lagi mengingat masa pahit itu.
“Aku menunggumu, Loran.
Seperti kamu yang masih setia menunggu hatiku.”
Kupejamkan mata,
berusaha merasakan kehadirannya. Dan entah pada detik keberapa kurasakan
kehangatan merayap dalam tubuhku. Kubuka mata perlahan, dan kusaksikan kau
tersenyum di depanku.
Jember,
14 Februari 2014
Karena
kau yang menyimpan rasaku
0 komentar:
Posting Komentar