THE
POOR MAN
Ulin Nurviana
Jalan Teuku Umar,
Batam pukul 21.00 WIB
Dua, tiga detik berlalu. Darah segar
masih mengalir dari balik tangan kanannya yang besar. Garis-garis biru di
punggung tangannya tak lagi mampu kulihat. Kulit berwarna coklat pekat itu telah
bersimbah darah. Sepuluh menit yang lalu telah terjadi perkelahian dahsyat, dan
lelaki di depanku ini tengah mengalami kekalahan.
“Dasar bajingan!” umpatnya sambil
mengibas-ngibaskan tangannya yang terluka.
Aku hanya terdiam sambil terus
menatap wajahnya yang kian padam. Bisa kulihat luapan emosi yang tak lagi bisa
ditahan. Memang sudah menjadi kebiasannya berkelahi, tapi baru kali ini kulihat
tetesan darah keluar dari kulit tubuhnya. Aku tidak yakin lelaki yang
mengalahkannya itu akan selamat. Satu jam lagi pasti akan kembali terjadi
perkelahian.
Lihat saja cara dia berpakaian.
Benar-benar seperti berandalan. Kaos oblong berwarna hitam dengan gambar
tengkorak, celana jins sobek di kedua lututnya dan rantai yang menggantung di
pinggangnya. Satu lagi, model rambut metal yang membuat siapapun melihat bakal
kabur. Aku tak pernah mengira dia bisa bertahan dengan penampilan urakan
semacam itu. Padahal lingkungannya cukup agamis. Kuakui dia memang Bad Boy sejati. Cukuplah perkelahian
menjadi aktivitasnya sehari-hari.
“Apa yang kau lihat?” pertanyaan
meluncur dengan volum cukup keras. Seolah-olah aku ini musuhnya.
Kualihkan pandanganku pada tangan
kanannya. Aku tak sudi untuk menyodorinya saputangan atau tawaran untuk
memberikannya obat. Tidak sama sekali. Aku sudah tidak peduli dengan apapun
kondisinya sejak dia memutuskan untuk menjadi metal. Kulemparkan senyum sinis
sebagai jawaban atas pertanyaan itu.
Kedua matanya menyipit dan giginya
menggegat. Kurasa dia tidak suka dengan caraku tersenyum. Whatever, bukan urusanku sekalipun dia menghajarku.
“Aku tidak suka dengan caramu
hidup.” Kataku dengan mata tajam menatap.
Alis mata yang bertaut itu telah
menjauh. Aku tidak tau apa yang ia pikirkan, tapi wajahnya yang hampir terbakar
emosi itu perlahan berubah. Mata elangnya seolah-olah bertanya, tapi mulutnya
bungkam. Hanya tangan kanan yang berusaha didekap erat oleh tangan kirinya.
“Aku tidak akan peduli lagi
denganmu, De.” Kataku lalu mulai beranjak dari bibir trotoar.
Kuputuskan untuk melangkah pergi,
tapi ada cengkeraman erat menahan tangan kananku hingga aku menghentikan
langkah. Kuarahkan mataku pada wajahnya. Ada genangan airmata di sana. Entah
kenapa tubuhku seketika merasakan kedinginan yang luar biasa.
“Jangan seperti ini, Dan.” Suara
bariton itu terdengar lebih pelan.
Aku diam, menunggu dia mengatakan
hal yang lain. Kuyakin ada banyak hal yang ingin ia sampaikan setelah setahun
ini kita tidak saling sapa. Ya, sejak dia menjadi metal, aku memang tak sudi
untuk berteman lagi dengannya. Bukan karena aku tidak suka, tapi aku hanya
ingin memberinya sedikit pelajaran.
“Kau tidak tau alasanku berubah.”
Tambahnya
Kutarik napas panjang. Perlahan
kukibaskan tangan kananku agar cengkeraman itu terlepas.
“Bukan alasan yang ingin kudengar,
tapi kesadaran dari hatimu. Kau tidak bisa kabur dari masalah dengan cara
seperti ini.” Kataku sambil mencoba melepaskan tangan kirinya yang tak mau
terlepas meskipun berusaha kukibaskan.
Kini airmata yang terbendung itu
telah meluncur. Ya Tuhan, aku merasa ada sesuatu yang sesak di dadaku. Melihat
seorang lelaki yang kukenal begitu tegar tengah meneteskan airmata di depanku.
“Aku mohon jangan pergi. Jangan
menghindar lagi. Aku butuh kamu, Dan.” Suaranya kian parau.
Perlahan kucoba untuk mengukir
senyum, dan cengkeraman tangan kuatnya telah mengendor. Di saat itulah
kuputuskan untuk melangkah pergi. Aku sengaja untuk mengabaikan permintaannya,
agar ia tahu bagaimana kehidupannya selama ini yang tak satupun orang bisa
terima.
Satu langkah. Kupikir aku bisa
meninggalkannya lebih jauh, tapi sebuah pemandangan munafik kusaksikan di
depanku, dan aku yakin Dean pun menyaksikannya. Seorang lelaki sedang keluar
dari Kawasan Nagoya Hill bersama wanita seksi menuju sebuah mobil putih yang
terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri. Lelaki itu adalah ayahnya Dean.
Ayah yang telah melumpuhkan kaki ibunya. Seketika itu aku berbalik untuk
melihat keadaan Dean, dan ternyata apa yang kukhawatirkan terjadi. Aura panas
bak pembunuh keluar dari wajahnya. Kedua tangannya saling mencengkeram hingga
tetesan darah berjatuhan di aspal jalan.
“Jangan De..” gumamku sedikit takut
melihat mata elang itu.
Perlahan Dean berjalan menghampiri
ayahnya. Bisa kurasakan hembusan angin pembunuh saat tubuh jangkung berparas
oriental itu lewat di depanku. Tanganku berusaha meraih lengannya agar ia
berhenti, tapi gagal. Aku merasa tubuhnya sukar kusentuh, padahal jarak antara
kami amat dekat. Aku merasa Dean makin jauh dan makin jauh hingga membuat
dadaku sesak.
“De..” suaraku parau.
Kini aku tak bisa untuk
mengabaikannya. Aku yakin lelaki itu akan menghabisi ayahnya. Dendam atas sikap
bajingan ayahnya telah nengakar di hatinya. Ayahnya telah mencampakkan dia dan
ibunya, hingga ia hidup berantakan seperti saat ini.
Tanpa pikir panjang, pukulan
melayang menebas wajah ayahnya hingga lelaki itu tersungkur tak berdaya. Sedang
wanita yang bersama ayahnya berteriak ketakutan.
“Dean..” suara ayahnya tercekat
dengan mata terbelalak kaget.
“Jadi begini cara ayah hidup di
jalanan?”
“Jaga mulutmu!” bentak ayahnya
sambil mencoba berdiri dan mengusap darah yang keluar dari mulutnya.
Sorot mata itu makin tajam. Ia tak
lagi peduli dengan darah yag terus mengalir dari tangan kanannya. Sedang
ayahnya berusaha merogoh handphon di
saku kemejanya. Entah siapa yang ia telpon, tapi nampaknya ia sedang mencari
bantuan. Namun sebelum suara itu keluar dari mulutnya, Dean sudah menangkis handphon yang ia genggam sehingga handphon itu terlempar.
“Apa kau ingin membunuhku?” tanya
ayahnya mulai gentar.
“Iya, sebagai balasan atas
perbuatanmu padaku dan Ibu.” Sekali lagi pukulan keras melayang menerpa wajah
ayahnya hingga kembali tersungkur. Kali ini tidak ada maaf lagi, Dean berusaha
terus memukul, ayahnya bagaikan sekarung sekam yang siap ia hancurkan. Beberapa
kali aku berteriak untuk menghentikan semua, tapi sekeras apapun aku bersuara
tidak akan tertangkap oleh telinganya. Dia seperti mesin pembunuh yang siap
membasmi musuhnya.
“Ini balasan atas perbuatan hinamu.”
Pukulan kali ini mematahkan gigi taring ayahnya, hingga ia kian tak berdaya.
Tak ada lagi tenaga untuk sekedar berteriak meminta tolong.
“Cukup Dean!” teriakku sambil
menahan tangan kanannya yang hendak kembali memukul.
Dean menatapku. Sorot matanya penuh
luka dan kebencian. Aku bisa merasakan kerasnya hidup dari wajahnya. Ia mencoba
mengibaskan tangan kanannya yang kucengkram kuat, tapi aku masih berusaha
bertahan. Aku memang tidak sekuat dirinya, tapi aku tidak mungkin membiarkan
dia menghajar ayahnya hingga sekarat.
“Untuk saat ini saja, Dean. Kumohon
jangan.” Aku berharap dia bisa mengerti, sekalipun aku harus berlutut agar dia
menghentikan semua.
Sorot mata itu meredup, dan entah
kenapa aku merasa tubuhku memanas seketika. Tanpa kusadari airmataku meleleh.
Aku mengetahui Dean sepenuhnya, hingga saat ini belum sekalipun aku melihat ia
hidup seperti para lelaki lainnya. Ia hidup dalam lingkaran permasalahan
keluarga yang rumit. Tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, dan ibunya sedang
lumpuh akibat ulah ayahnya. Ya Tuhan, kenapa baru saat ini aku menyadari bahwa Dean
sangat membutuhkan teman.
“Dania..” suara lirih itu mampu
kutangkap, dan perlahan tangan kanannya terjatuh.
Aku tertunduk menumpahkan airmata,
dan di waktu yang sama mobil polisi datang. Aku tidak tau siapa yang telah
memanggil polisi, tapi mereka telah menarik tubuh Dean dari hadapanku. Dean
tidak melawan para polisi itu, ia hanya terus menatapku. Mungkin berharap aku
mengatakan sesuatu, tapi mulutku bungkam seribu bahasa. Hanya airmata yang
enggan untuk terbendung.
Perlahan polisi itu memasukkan tubuh
Dean dengan paksa pada mobil patroli itu. Di detik-detik itulah aku merasa
sangat perih dan menyesal, hingga aku menyadari bahwa aku tak ingin kehilangan
Dean.
oOo
Polsek Teluk
Tering, Batam kota
Dari hasil interogasi dari pihak
kepolisian, maka Dean dinyatakan telah melakukan penganiyayaan yang disengaja,
sehingga berdasarkan KUHP pasal 352 maka Dean mendapat hukuman tiga bulan
penjara. Lemas sudah tubuhku mendengar hal itu saat mengunjunginya di kantor polisi.
Tanpa pikir panjang, aku meminta izin untuk menemui Dean.
Kutarik napas saat kaki ini telah
sampai di pintu besi di salah satu sel. Kulihat Dean duduk memeluk kedua
lututnya dengan wajah tertunduk. Aku tak mampu untuk sekedar memanggil namanya.
Terlalu berat beban ini untuknya. Seandainya ayahnya mencabut tuntutan dia
terhadap hukuman Dean, mungkin dia tidak perlu menjalani hidup dalam jeruji
besi. Sungguh kejam lelaki itu, sudah merampas seluruh kebahagiaan yang selama
ini Dean bangun bersama ibunya.
“De..” suaraku lirih memanggilnya.
“Dania..” ia bergegas menghampiriku.
Airmataku tumpah melihat wajahnya
kian lusuh. Terlalu banyak beban, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Namun
entah kenapa ia justru tersenyum menatapku.
“Terima kasih, Dania.”
Aku menelan ludah yang terasa pahit.
“Terima kasih, karena kau masih
peduli padaku.” Cecernya dengan bendungan airmata yang akan tumpah.
Aku menutup mulut. Tubuhku
terguncang karena menahan isak. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan.
“Selama tiga bulan kedepan, tolong
jaga Ibu.”
Aku hanya bisa mengangguk, dan dia
tersenyum sambil meraih tangan kirinya yang memegang salah satu jeruji besi.
“Kau tidak membenciku kan, Dania?”
pertanyaan itu meluncur seiring dengan airmata yang meleleh di pipinya, dan
kujawab pertanyaan itu dengan butiran airmata yang kembali mengalir di pipiku.
Jember, 30 November
2013
Untuk sahabat,
kutahu kau paling mengerti.