Kamis, 11 September 2014

THE POOR MAN

THE POOR MAN
Ulin Nurviana


Jalan Teuku Umar, Batam pukul 21.00 WIB
Dua, tiga detik berlalu. Darah segar masih mengalir dari balik tangan kanannya yang besar. Garis-garis biru di punggung tangannya tak lagi mampu kulihat. Kulit berwarna coklat pekat itu telah bersimbah darah. Sepuluh menit yang lalu telah terjadi perkelahian dahsyat, dan lelaki di depanku ini tengah mengalami kekalahan.
“Dasar bajingan!” umpatnya sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang terluka.
Aku hanya terdiam sambil terus menatap wajahnya yang kian padam. Bisa kulihat luapan emosi yang tak lagi bisa ditahan. Memang sudah menjadi kebiasannya berkelahi, tapi baru kali ini kulihat tetesan darah keluar dari kulit tubuhnya. Aku tidak yakin lelaki yang mengalahkannya itu akan selamat. Satu jam lagi pasti akan kembali terjadi perkelahian.
Lihat saja cara dia berpakaian. Benar-benar seperti berandalan. Kaos oblong berwarna hitam dengan gambar tengkorak, celana jins sobek di kedua lututnya dan rantai yang menggantung di pinggangnya. Satu lagi, model rambut metal yang membuat siapapun melihat bakal kabur. Aku tak pernah mengira dia bisa bertahan dengan penampilan urakan semacam itu. Padahal lingkungannya cukup agamis. Kuakui dia memang Bad Boy sejati. Cukuplah perkelahian menjadi aktivitasnya sehari-hari.
“Apa yang kau lihat?” pertanyaan meluncur dengan volum cukup keras. Seolah-olah aku ini musuhnya.
Kualihkan pandanganku pada tangan kanannya. Aku tak sudi untuk menyodorinya saputangan atau tawaran untuk memberikannya obat. Tidak sama sekali. Aku sudah tidak peduli dengan apapun kondisinya sejak dia memutuskan untuk menjadi metal. Kulemparkan senyum sinis sebagai jawaban atas pertanyaan itu.
Kedua matanya menyipit dan giginya menggegat. Kurasa dia tidak suka dengan caraku tersenyum. Whatever, bukan urusanku sekalipun dia menghajarku.
“Aku tidak suka dengan caramu hidup.” Kataku dengan mata tajam menatap.
Alis mata yang bertaut itu telah menjauh. Aku tidak tau apa yang ia pikirkan, tapi wajahnya yang hampir terbakar emosi itu perlahan berubah. Mata elangnya seolah-olah bertanya, tapi mulutnya bungkam. Hanya tangan kanan yang berusaha didekap erat oleh tangan kirinya.
“Aku tidak akan peduli lagi denganmu, De.” Kataku lalu mulai beranjak dari bibir trotoar.
Kuputuskan untuk melangkah pergi, tapi ada cengkeraman erat menahan tangan kananku hingga aku menghentikan langkah. Kuarahkan mataku pada wajahnya. Ada genangan airmata di sana. Entah kenapa tubuhku seketika merasakan kedinginan yang luar biasa.
“Jangan seperti ini, Dan.” Suara bariton itu terdengar lebih pelan.
Aku diam, menunggu dia mengatakan hal yang lain. Kuyakin ada banyak hal yang ingin ia sampaikan setelah setahun ini kita tidak saling sapa. Ya, sejak dia menjadi metal, aku memang tak sudi untuk berteman lagi dengannya. Bukan karena aku tidak suka, tapi aku hanya ingin memberinya sedikit pelajaran.
“Kau tidak tau alasanku berubah.” Tambahnya
Kutarik napas panjang. Perlahan kukibaskan tangan kananku agar cengkeraman itu terlepas.
“Bukan alasan yang ingin kudengar, tapi kesadaran dari hatimu. Kau tidak bisa kabur dari masalah dengan cara seperti ini.” Kataku sambil mencoba melepaskan tangan kirinya yang tak mau terlepas meskipun berusaha kukibaskan.
Kini airmata yang terbendung itu telah meluncur. Ya Tuhan, aku merasa ada sesuatu yang sesak di dadaku. Melihat seorang lelaki yang kukenal begitu tegar tengah meneteskan airmata di depanku.
“Aku mohon jangan pergi. Jangan menghindar lagi. Aku butuh kamu, Dan.” Suaranya kian parau.
Perlahan kucoba untuk mengukir senyum, dan cengkeraman tangan kuatnya telah mengendor. Di saat itulah kuputuskan untuk melangkah pergi. Aku sengaja untuk mengabaikan permintaannya, agar ia tahu bagaimana kehidupannya selama ini yang tak satupun orang bisa terima.
Satu langkah. Kupikir aku bisa meninggalkannya lebih jauh, tapi sebuah pemandangan munafik kusaksikan di depanku, dan aku yakin Dean pun menyaksikannya. Seorang lelaki sedang keluar dari Kawasan Nagoya Hill bersama wanita seksi menuju sebuah mobil putih yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri. Lelaki itu adalah ayahnya Dean. Ayah yang telah melumpuhkan kaki ibunya. Seketika itu aku berbalik untuk melihat keadaan Dean, dan ternyata apa yang kukhawatirkan terjadi. Aura panas bak pembunuh keluar dari wajahnya. Kedua tangannya saling mencengkeram hingga tetesan darah berjatuhan di aspal jalan.
“Jangan De..” gumamku sedikit takut melihat mata elang itu.
Perlahan Dean berjalan menghampiri ayahnya. Bisa kurasakan hembusan angin pembunuh saat tubuh jangkung berparas oriental itu lewat di depanku. Tanganku berusaha meraih lengannya agar ia berhenti, tapi gagal. Aku merasa tubuhnya sukar kusentuh, padahal jarak antara kami amat dekat. Aku merasa Dean makin jauh dan makin jauh hingga membuat dadaku sesak.
“De..” suaraku parau.
Kini aku tak bisa untuk mengabaikannya. Aku yakin lelaki itu akan menghabisi ayahnya. Dendam atas sikap bajingan ayahnya telah nengakar di hatinya. Ayahnya telah mencampakkan dia dan ibunya, hingga ia hidup berantakan seperti saat ini.
Tanpa pikir panjang, pukulan melayang menebas wajah ayahnya hingga lelaki itu tersungkur tak berdaya. Sedang wanita yang bersama ayahnya berteriak ketakutan.
“Dean..” suara ayahnya tercekat dengan mata terbelalak kaget.
“Jadi begini cara ayah hidup di jalanan?”
“Jaga mulutmu!” bentak ayahnya sambil mencoba berdiri dan mengusap darah yang keluar dari mulutnya.
Sorot mata itu makin tajam. Ia tak lagi peduli dengan darah yag terus mengalir dari tangan kanannya. Sedang ayahnya berusaha merogoh handphon di saku kemejanya. Entah siapa yang ia telpon, tapi nampaknya ia sedang mencari bantuan. Namun sebelum suara itu keluar dari mulutnya, Dean sudah menangkis handphon yang ia genggam sehingga handphon itu terlempar.
“Apa kau ingin membunuhku?” tanya ayahnya mulai gentar.
“Iya, sebagai balasan atas perbuatanmu padaku dan Ibu.” Sekali lagi pukulan keras melayang menerpa wajah ayahnya hingga kembali tersungkur. Kali ini tidak ada maaf lagi, Dean berusaha terus memukul, ayahnya bagaikan sekarung sekam yang siap ia hancurkan. Beberapa kali aku berteriak untuk menghentikan semua, tapi sekeras apapun aku bersuara tidak akan tertangkap oleh telinganya. Dia seperti mesin pembunuh yang siap membasmi musuhnya.
“Ini balasan atas perbuatan hinamu.” Pukulan kali ini mematahkan gigi taring ayahnya, hingga ia kian tak berdaya. Tak ada lagi tenaga untuk sekedar berteriak meminta tolong.
“Cukup Dean!” teriakku sambil menahan tangan kanannya yang hendak kembali memukul.
Dean menatapku. Sorot matanya penuh luka dan kebencian. Aku bisa merasakan kerasnya hidup dari wajahnya. Ia mencoba mengibaskan tangan kanannya yang kucengkram kuat, tapi aku masih berusaha bertahan. Aku memang tidak sekuat dirinya, tapi aku tidak mungkin membiarkan dia menghajar ayahnya hingga sekarat.
“Untuk saat ini saja, Dean. Kumohon jangan.” Aku berharap dia bisa mengerti, sekalipun aku harus berlutut agar dia menghentikan semua.
Sorot mata itu meredup, dan entah kenapa aku merasa tubuhku memanas seketika. Tanpa kusadari airmataku meleleh. Aku mengetahui Dean sepenuhnya, hingga saat ini belum sekalipun aku melihat ia hidup seperti para lelaki lainnya. Ia hidup dalam lingkaran permasalahan keluarga yang rumit. Tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, dan ibunya sedang lumpuh akibat ulah ayahnya. Ya Tuhan, kenapa baru saat ini aku menyadari bahwa Dean sangat membutuhkan teman.
“Dania..” suara lirih itu mampu kutangkap, dan perlahan tangan kanannya terjatuh.
Aku tertunduk menumpahkan airmata, dan di waktu yang sama mobil polisi datang. Aku tidak tau siapa yang telah memanggil polisi, tapi mereka telah menarik tubuh Dean dari hadapanku. Dean tidak melawan para polisi itu, ia hanya terus menatapku. Mungkin berharap aku mengatakan sesuatu, tapi mulutku bungkam seribu bahasa. Hanya airmata yang enggan untuk terbendung.
Perlahan polisi itu memasukkan tubuh Dean dengan paksa pada mobil patroli itu. Di detik-detik itulah aku merasa sangat perih dan menyesal, hingga aku menyadari bahwa aku tak ingin kehilangan Dean.
oOo

Polsek Teluk Tering, Batam kota
Dari hasil interogasi dari pihak kepolisian, maka Dean dinyatakan telah melakukan penganiyayaan yang disengaja, sehingga berdasarkan KUHP pasal 352 maka Dean mendapat hukuman tiga bulan penjara. Lemas sudah tubuhku mendengar hal itu saat mengunjunginya di kantor polisi. Tanpa pikir panjang, aku meminta izin untuk menemui Dean.
Kutarik napas saat kaki ini telah sampai di pintu besi di salah satu sel. Kulihat Dean duduk memeluk kedua lututnya dengan wajah tertunduk. Aku tak mampu untuk sekedar memanggil namanya. Terlalu berat beban ini untuknya. Seandainya ayahnya mencabut tuntutan dia terhadap hukuman Dean, mungkin dia tidak perlu menjalani hidup dalam jeruji besi. Sungguh kejam lelaki itu, sudah merampas seluruh kebahagiaan yang selama ini Dean bangun bersama ibunya.
“De..” suaraku lirih memanggilnya.
“Dania..” ia bergegas menghampiriku.
Airmataku tumpah melihat wajahnya kian lusuh. Terlalu banyak beban, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Namun entah kenapa ia justru tersenyum menatapku.
“Terima kasih, Dania.”
Aku menelan ludah yang terasa pahit.
“Terima kasih, karena kau masih peduli padaku.” Cecernya dengan bendungan airmata yang akan tumpah.
Aku menutup mulut. Tubuhku terguncang karena menahan isak. Tidak ada kata yang bisa kuucapkan.
“Selama tiga bulan kedepan, tolong jaga Ibu.”
Aku hanya bisa mengangguk, dan dia tersenyum sambil meraih tangan kirinya yang memegang salah satu jeruji besi.
“Kau tidak membenciku kan, Dania?” pertanyaan itu meluncur seiring dengan airmata yang meleleh di pipinya, dan kujawab pertanyaan itu dengan butiran airmata yang kembali mengalir di pipiku.




Jember, 30 November 2013
Untuk sahabat, kutahu kau paling mengerti.