Rabu, 13 September 2017

Perempuan Membangun Gender

Perempuan merupakan sosok yang luar biasa di mata dunia. Ia adalah agen perubahan penting pembangun suatu negara. Negara akan baik jika perempuan di dalamnya baik dan sebaliknya negara itu akan hancur jika perempuannya hancur.
Saat ini ada banyak kekecewaan yang terjadi di negri ini tentang perempuan. Tak ubahnya perempuan negri ini adalah sampah yang diseret sana sini tanpa nilai. Harga perempuan tidak ada lagi. Tidak ada setitikpun nilai yang bisa diambil dari perempuan-perempuan saat ini. Hanya secuil dari mereka yang masih mempertahankan martabat dan harga dirinya. Arus globalisasi telah membutakan mata perempuan negri ini. Virus-virus dari luar telah membobrokkan akhlak dan pemikiran mereka. Sistem kapitalis telah membunuh martabat perempuan. Perbedaan cara pandang Kapitalisme terhadap perempuan sudah sangat jelas. Kapitalisme memandang perempuan seperti barang yang dapat diperjualbelikan, karena itu ia dieksploitasi kecantikannya, digunakan promosi berbagai produk sekalipun produk itu tidak ada hubungannya dengan perempuan. Perempuan dianggap mesin pencetak uang, unsur penting penopang perbaikan ekonomi. Sehingga perempuan dinilai berharga sesuai dengan materi yang dia hasilkan.
Perempuan sebagai agen perubahan merupakan simbolis yang cukup tajam untuk dicapai. Maraknya agenda seks dan pacaran menjadikan perempuan berkualitas rendah. Lalu mana yang disebut agen perubahan kalau perempuan yang diandalkan hancur akhlaknya?
Pemerkosaan, penganiyayaan dan pelangaran hak asasi perempuan telah berbaris rapi untuk dinilai kelayakan terbitnya. Miris sekali. Dianggap semua pelanggaran itu adalah naskah yang siap diterbitkan. Beginikah nasib negri ini?
Kiprah perempuan seperti apa yang diharapkan oleh negri ini? Demokah? Emansipasikah? Atau kesetaraan Gender? Banyak hal yang saat ini marak dialami perempuan. Mereka menjadi tulang punggung keluarga, TKW, tukang parkir bahkan kuli bangunan. Inikah yang disebut kiprah perempuan? Inikah yang disebut kesetaraan Gender atau Emansipasi. Islam mengajarkan Emansipasi yang tidak seperti itu. Dengan menjadikan perempuan sebagai tulang punggung keluarga, TKW dan pekerjaan keras lainnya merupakan perendahan nilai perempuan. Tidak layak mereka menjadi TKW dan tulang punggung jika ada lelaki yang masih kuat. Tidak layak untuk mereka bekerja jika ada Islam yang mewajibkan kaum lelaki untuk mengayominya.
Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan anak laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. Sedangkan keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kuwajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat.
Adanya kesamaan Gender inilah yang akan membuat perempua lalai akan kuwajibannya. Mereka bergumam bebas untuk semua kegiatan yang dilakukan laki-laki. Mereka bebas melakukan apapun hingga harga diripun rela dikorbankan.
Perempuan sebagai pembangun negri bukan seperti itu. Islam begitu memuliyakan perempuan. Dibalik kesuksesan Rosulullah ada khadijah. Dibalik setiap keberhasilan laki-laki ada perempuan dibelakangnya. Yang mendukung dan mengayomi secara benar sesuai apa yang disyariatkan dalam Islam. Perempuan sebagai pembangun negri adalah perempuan yang mampu membuat lelaki melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin dengan benar. Jika perempuan yang ada di belakang lelaki rusak maka kesuksesan lelakipun akan rusak. Negara ini tak akan tercipta secara damai jika tidak ada perempuan yang benar sebagai pembangun motivasi besar bagi lelaki.
Islam memberikan aturan yang sempurna untuk perempuan. Semua aturan yang diberlakukan Allah SWT itu adalah solusi kehidupan sekaligus menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Maka Allah melarang untuk iri atas perbuatan itu.

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan memohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
 (QS an-Nisa’ (4): 34)

Kiprah perempuan sebagai agen perubahan bukan berarti ia harus sama dengan laki-laki, bukan berarti melakukan semua yang dilakukan lelaki. Perempuan sebagai agen perubahan bahkan sebagai pembangun negri adalah perempuan yang mampu menempatkan posisinya secara benar sesuai dengan aturan Islam. Persamaan Gender hanya akan merusak nilai perempuan. Perempuan akan tetap mampu menjadi agen perubahan tanpa harus menyaman Gender dengan laki-laki, karena Allah telah menetapkan apa dan mana yang layak untuk hambanya. (Ulin_Nurviana)



Kamis, 28 Januari 2016

Kenapa kita harus berpisah?


Kadang hati menolak melupakanmu, tapi apa yang bisa kulakukan?
Menunggumu dalam sepi?
Menunggumu dalam ketidakpastian?
Atau menunggumu dalam tangisan doa?

Sudah..
Aku mulai lelah..
Kita mungkin tidak perlu saling melupakan
Tak perlu saling menunggu..
Hanya saling menerima apa yang sudah menjadi ketentuan. NYA

Rabu, 27 Januari 2016

Tentang Kamu

Tentang Kamu

Biarkan waktu yang menghapus rasa ini
Biarkan waktu yang menjawab semua...
Pada siapa tulang rusuk kembali..

Jangan khawatir..
Aku baik-baik saja..
Meskipun sakitnya masih amat terasa..
Kamu bilang, "Mari berlatih untuk saling menjauh."
Tentu saja..
Karena kita tidak tau takdir kita di masa depan..
Dengan siapa kamu? Dengan siapa aku?
Allah telah menuliskan takdir kita..
Bisa jadi dengan nama yang sama, atau nama yang lain..

Sudahlah..
Aku pasti baik-baik saja..
Jangan merasa bersalah..
Karena akulah yang memulai rasa ini..

Pelan-pelan kita lupakan semua

Kamis, 07 Januari 2016

Last Love


Satu jam berlalu. Mataku masih sembab. Menerkam bayangan masa lalu yang coba aku usik kembali. Airmataku tidak mau mati, menahan sesak pula. Sudah berlalu sejak dia menelan seluruh nafas hidupnya. Tidak akan ada lagi suara, bayangan dan senyum itu. Semua telah mati. Telah tenggelam di dasar bumi. Dia telah pergi. Meninggalkan segala bongkahan rasa yang ada.
“Aku merindukanmu.”
Hanya kata itu yang selalu aku ungkap tiap berdiri di depan nisannya. Tidak ada isak yang deru, tapi hanya sebongkah kebisuan hingga berjam-jam berlalu. Rasaku telah pergi. Tidak akan ada kenangan datang kembali. Aku terpaksa mengubur senyum indah yang dulu ada, karena kini hanya airmata yang tersisa.
Andai logika ini bisa menerima. Aku ingin pergi ke duniamu. Dunia yang kata orang kekal dan penuh keajaiban. Surga kah itu? Aku ingin datang ke sana bersamamu. Mungkinkah sekarang kau ada di sana. Dadaku mulai sesak. Ya, mungkin kamu di sana dan sedang tersenyum mengawasiku. Kuharap kau juga merindukanku. Sungguh, rasa terkubur selama lima bulan ini bagiakan onggokan besi yang hendak menyempitkan dadaku.
Aku usap airmataku perlahan. Memahami keadaan. Aku mungkin sudah gila dengan cinta ini. Tidak ada kepastian kapan akan berakhir masa gelap ini. Jujur aku ingin menyusulmu, karena kutahu kau satu-satunya lelaki yang bisa menerimaku. Bagiku kau seperti burung camar, dan aku kapal di lautan. Suaramu mampu merubah haluanku.
Lima bulan sebelum kematiamu, kau adalah sosok pembeda. Saat kondisiku tak layak untuk dicintai, tapi kau menerimaku dengan baik. Kau pernah bilang, “Rasaku tak melihat ragamu.”
 Airmataku mengalir. Aku benar-benar melihat ketulusan sesungguhnya darimu. Kau mengajariku berdiri, menuntunku berjalan dan mengajariku menikmati indahnya hidup. Aku fikir setelah peristiwa pahit itu hidupku akan gelap, tapi tidak. Tuhan menghadirkan sosokmu di duniaku. Sosok yang selalu menebar senyum dan motivasi, hingga kakiku mampu berjalan kembali. Aku begitu menyadari, bahwa kau sungguh malaikat yang diturunkan Tuhan.
“Aku hadir untuk membuatmu tersenyum.”
Jantungku nyaris melompat. Sesak berat semakin menyiksa. Kalimat itu sungguh sisa kenangan yang perih untuk diterima. Kenyataan tak sesuai keinginan kita. Kematian mengubah semua.
“Ayo pulang, Ka.”
Aku faham suara siapa itu. Maya sahabatku, tapi aku tidak peduli. Aku ingin tetap berlama-lama di depan nisan ini. Mengusik kembali kenangan. Siapa tahu dia akan kembali, walau kedengarannya mustahil. Namun entah kenapa aku memiliki keyakinan kuat, bahwa dia akan datang. Setidaknya untuk memelukku selama semenit atau kurang dari itu. Tidak apa, asalkan aku melihatnya.
“Kamu sudah lima jam di makan ini. Apakah setiap hari kamu akan menghabiskan lima jam waktumu untuk duduk di sini. Danny tidak akan kembali. Dia sudah mati, Reka!”  tegas Maya, dan nada suaranya meninggi saat kalimat terakhir.
Aku masih tidak peduli. Aku tahu semua orang bilang dia sudah mati. Aku juga tahu dia sudah dimakamkan dan jasatnya sudah menjadi tanah. Tiga bulan, bagiku dia tidak bisa dikatakan mati. Mungkin saja dia masih hidup, atau mungkin aku sudah gila. Itu yang sering dikatakan orang disekitarku.
“Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Aku sudah lelah setiap hari menasehatimu. Silahkan tidur di sini dan menangis sepuasmu!”
Maya mulai meninggalkanku dan aku masih duduk setia. Sudah tiga bulan dia menjemputku tiap aku datang ke makam, dan tiga bulan pula aku tidak pernah mau pulang bersamanya. Aku pulang sendiri setelah aku puas merenung.
oOo

Jam terus berputar, matahari mulai menutup sebagian wajahnya. Namun aku masih tak lelah menunggu. Entah kenapa aku merasa yakin dia akan datang. Butiran airmata mengalir kembali. Udara dingin menyambut malam. Pasti dia kesepian. Di makan ini ia tidak punya teman. Aku ingin menemaninya. Kalaupun dia tidak datang malam ini, mungkin besok atau lusa. Aku akan tetap menunggunya. Ini caraku mencintainya, seperti caranya mencintaku, saat aku tidak bisa berjalan.
Aku berusaha bertahan meski masih hayalan tentang sosoknya yang bakal datang. Namun mataku tak mampu memberikan jawaban. Tubuhku mulai merasakan kelelahan yang amat sangat, sehingga tak lama dari itu aku terjatuh dan tertidur di samping makam Danny.
Entah apa yang terjadi setelah itu, tapi aku melihat sosoknya. Aku sedang berdiri di sebuah padang rumput nan hijau dan luas. Kutatap lelaki yang sedang berdiri di depanku dengan penuh deraian airmata. Ingin aku berlari untuk memeluknya, tapi semua terasa kaku. Otakku tak mampu memerintahkan anggota tubuh, sehingga aku hanya terdiam dengan nafas nyaris putus.
“Da.. Da.nny..” suaraku terasa berat
Lelaki itu tersenyum lebar dan berjalan mendekatiku. Ia meraih tanganku dan meletakkannya di atas dadanya. Tidak ada degup jantung yang bisa kurasakan. Semua terasa dingin dan diam.
“Jantungku sudah tidak lagi berdetak. Tahukah kau apa artinya itu?”
Pertanyaan itu membekukan jantungku. Aku tahu apa itu, tapi mulutku bungkam. Aku tidak akan menjawab, karena aku tidak yakin dia sudah mati.
“Percayalah dengan apa yang kau lihat. Aku tidak akan datang lagi. Kau tidak perlu menungguku.” Katanya
Aku mencoba menggerakkan tubuhku. Jelas aku menolak hal itu. Mataku melotot. Tanganku mengepal dan airmataku mengancam akan keluar. Namun dia tersenyum teduh. Seolah-olah semua baik-baik saja.
“Ini akhir cinta kita.”
“Tidaaak...!!!” teriakku sekencangnya
“Akan datang masa yang jauh lebih indah dari masa yang kita lalui.” Katanya lalu memegang kepalaku. Masih dengan senyum, ia berhasil melumpuhkan seluruh saraf dan organ tubuhku, hingga aku tidak mampu bicara. Ia mulai memejamkan kedua mataku dengan tangannya.
“Aku mencintaimu, Reka.”
Untuk yang terakhir kalinya aku masih mendengar kalimat itu, tapi setelah itu, semua terasa gelap dan telingaku tidak lagi mampu mendengar apapun. Kubuka mata dan hanya kegelapan yang hadir. Bayangnya telah pergi, dan aku harus terpaksa meyakini bahwa dia memang sudah mati.
oOo

The Day After Tomorrow
Langit gelap hari itu, tapi hujan belum juga turun. Aku berdiri di Halte dekat tempat kerjaku di daerah Jakarta Selatan. Aku tatap awan gelap tersebut. Masih menyisakan luka. Siapa bilang aku sudah normal dengan mempercayai kenyataan. Tidak.. sama sekali tidak. Mungkin otakku meyakini, tapi tidak dengan hati dan cintaku.
Hujan mulai turun sangat deras. Seorang lelaki berlari menuju Halte dan duduk tidak jauh dariku. Ia membersihkan kemeja dan rambutnya dari butiran hujan. Aku sempat menoleh, dan saat itu ia juga sedang menoleh ke arahku. Mata kami bertemu. Namun aku segera mengalihkan pandangan.
Ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari ibuku.
Cepat pulang ya, Ka. Akan ada tamu penting untukmu
Tamu penting? Aku ingat kata-kata orang tuaku minggu lalu, bahwa mereka ingin memperkenalkanku pada seseorang. Sebenarnya itu cara mereka untuk membantuku melupakan Danny. Tidak akan berpengaruh untukku.
“Mbak mau ke mana?” lelaki itu bertanya
Aku menoleh. Terdiam sejenak. Orang ini sok kenal ya.
“Tidak tahu, yang pasti tidak pulang ke rumah.” Jawabku ketus
“Maksudnya tidak kembali bagaimana?” lelaki itu mengerutkan alis.
Aku mendesah, dan memutuskan untuk tidak menjawab. Jujur, setelah kepergian Danny aku tidak punya keinginan untuk berteman atau dekat-dekat dengan laki-laki lain. Aku takut cintaku berubah.
Lelaki itu menghela nafas lalu tersenyum.
“Saya tidak tahu apa yang sedang Mbak fikirkan, dan mohon maaf kalau saya lancang bertanya begitu.” katanya dengan nada sopan.
“Terserah, yang pasti aku tidak akan pulang ke rumah yang menambah beban dalam hidupku.” Jawabku masih ketus
Lelaki itu mungkin terkejut. Terbukti dari cara ia melihatku. Seperti menyimpan tanda tanya besar dan penasaran.
“Saya tidak tahu apa yang sedang Mbak alami. Kalau boleh saya memberi masukan. Sebenarnya beban itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan keindahan hidup ini.”
Kalimat yang ia utarakan membuat kupingku panas. Siapa dia berani menasehatiku. Namun aku memilih diam. Biarkan dia mengoceh.
“Kadang, Tuhan memberikan kita mendung dan hujan yang deras, agar kita bisa melihat pelangi. Meskipun caranya kadang tidak kita suka.” Tambahnya
Aku kaget bukan main. Kata-kata itu pernah diucapkan Danny saat aku sakit dulu. Aku langsung menoleh dan dia tersenyum lebar melihatku. Seketika jantungku seperti berhenti berdetak. Senyum itu dan sorot matanya yang teduh, sungguh sama dengan Danny. Mungkinkah...
“Tetap semangat ya Mbak. Maaf, saya harus pergi terlebih dulu. Teman saya sudah datang.”
Lelaki itu langsung berlari menerjang hujan menuju mobil putih yang berhenti di seberang jalan. Dia meninggalkan ribuan pertanyaan di otakku. Beberapa saat kemudian bus datang dan aku segera masuk. Aku putuskan untuk pergi ke makam Danny. Barang kali aku bisa mengusir semua fikiran konyol yang baru saja terlintas.
oOo

Aku berdiri di depan makamnya. Menarik nafas panjang. Entah kenapa wajah lelaki itu kembali muncul disaat aku ingin mengingat Danny. Aku segera menggelengkan kepala. Jangan sampai ada racun yang melumpuhkan memoriku tentang Danny.
“Bodoh... aku harus segera melupakan semua ini.”
Ponselku berbunyi. Aku tahu itu telpon dari orangtuaku. Tamu mereka pasti sudah datang. Lelaki yang mungkin ingin dijodohkan denganku. Aku abaikan telpon itu sampai beberapa kali, hingga telingaku penat dan aku pun terpaksa mengangkatnya.
“Hallo..”
“Reka, Ibu mohon pulanglah! Setidaknya kau menghargai tamu yang hendak bertemu denganmu. Terserah apa keputusanmu nanti. Ibu hanya ingin kamu pulang untuk melihatnya. Kasihan dia sudah menunggu.” Ibu terus ngomong tanpa henti, padahal aku belum mengatakan setuju, ia sudah menutup telponnya.
Akhirnya aku putuskan untuk pulang. Bagimanapun juga aku masih punya hati dan tahu cara berbakti pada orang tua.
oOo

Aku langsung menuju taman belakang rumah. Bisa kulihat seorang lelaki sedang ngobrol bersama ibu sambil melihat bunga-bunga di sana. Ibu tersenyum melihat kedatanganku.
Seperti ada kuda terbang di depanku. Mataku terbelalak melihat siapa sosok itu. Lelaki yang baru saja aku lihat di Halte. Lelaki yang mengingatkanku pada Danny. Diatersenyum melihatku. Tiba-tiba saja tubuhku kaku dan jantungku berdegup kencang. Apa yang sedang dilakukan jantungku? Kenapa rasa ini kembali muncul saat Danny sudah tidak ada.
“Ibu tinggal ya.”
Ibu langsung pergi setelah mengatakan itu. Meninggalkan kami berdua. Entah kenapa semua terasa sempit. Mataku berkeliling mencari perlindungan. Tidak mungkin secepat ini berubah.
“Ternyata kita bertemu kembali.” kata lelaki itu
Aku terus mengalihkan pandangan. Tak kubiarkan mataku melihat sosoknya. Aku takut teracuni, ternodai dan membunuh cintaku untuk Danny. Namun lelaki itu berjalan mendekatiku dan berdiri di depanku.
“Aku sudah tahu tentangmu.”
Aku masih mengalihkan pandangan. Terserah apa katanya. Toh aku tahu kalau lelaki itu pandai membual.
Last Love? Kata siapa cinta sudah berakhir?” lelaki itu bertanya
Aku bengong. Siapa yang mengajarinya bertanya begitu? Itu kalimat yang pernah Danny ucapkan juga. Orang ini. Siapa sebenarnya orang ini. Aku langsung menoleh ke arahnya.
“Da..Da..nny..?” suaraku tercekat



Jember, 29 Mei 2013
Karena cinta, tidak akan meninggalkan hati
yang sedang terluka

Selasa, 22 Desember 2015

Menghapus Noda Surau-Ku




Tubuhku sudah usang. Termakan usia senja. Membatukan memori gelap tiada sirna. Memecah deru angin lampau yang nyaris memotong nadiku. Berbaris dosa menghisap rupa-rupa tua sepertiku. Telah jauh hari kumencoba membentangkan altar maaf, tapi hati masih sempit dan sakit. Dosa dan kesalahan apa yang telah diri lakukan, hingga mereka pun tak jua memberi lampu maaf untukku.
Ramadhan sebentar lagi. Orang bilang pintu maaf Tuhan terbuka lebar. Benar kah? Apakah dosa-dosa menggunungku akan terhapus? Apakah aku pun bisa memaafkan perempuan jalang yang sudah merobohkan surau Al-Hikmah-ku? Hatiku masih membatu menyimpan dendam. Dasar perempuan jalang. Sedetik pun aku belum mampu memaafkan noda yang kau toreh di surau-ku.
Kini aku bagai solfatara usang. Tidak lagi memiliki harta dunia. Satu-satunya tempat berteduhku telah dinodai si perempuan jalang. Bagaimana bisa aku memaafkan perbuatannya. Bukan karena itu surau telah ternoda. Bukan aku marah karena harus membasuh darah, tapi karena surau itu adalah rumah-Nya.
“Maafkan lah, Pak. Sudah sepuluh tahun berlalu.” Kata Joko Takmir masjid Kalijaga.
“Bagaimana caraku memaafkan perempuan itu, jika sepuluh tahun dia menghilang. Gara-gara kelakuannya, surau-ku tak lagi di tempati untuk sholat. Penduduk desa merasa jijik dan menganggap surau itu adalah tempat maksiat.” Ceritaku menahan emosi.
Aku masih ingat peristiwa itu. Saat subuh menjelang. Ketika jamaah berbondong-bondong menuju surau Al-Hikmah sekaligus tempat tinggalku selama ini. Peristiwa heboh terjadi ketika seorang jamaah menemukan seorang lelaki dan perempuan yang sedang bermaksiat di sudut mushola. Tepatnya di balik mimbar. Seketika teriakan dan cacian menggema. Dua orang yang bermaksiat itu segera membereskan pakaiannya dan berlari pergi. Para jamaah berusaha mengejar, namun tidak berhasil menangkap mereka.
Noda darah menggoreskan luka di surau itu. Ceceran darah menjadi najis yang tidak akan terhapus di benak para jamaah, hingga mereka pun menyalahkanku. Sebagai takmir aku belum mampu merawat surau kecil itu dengan baik, hingga terjadi kemaksiatan di dalamnya.
Sepuluh tahun sudah surau itu kosong tanpa jamaah. Hanya aku yang masih setia  di sana. Mengumandangkan adzan dan sholat sendirian, meskipun aku tidak tahu apakah sholatku akan diterima.
Beberapa minggu ini aku memutuskan untuk sholat di masjid yang cukup jauh dari surau-ku. Aku berfikir untuk mencari pahala yang lebih besar. Apa lagi menjelang Ramadhan. Terpaksa aku membiarkan surau itu menjadi rumah kosong. Untuk apa mengumandangkan azan setiap hari jika tidak ada jamaah yang datang.
“Besok sudah dimulai puasa, Pak. Semoga perempuan itu kembali dan meminta maaf.”
Aku mengangguk saja. Aku juga berharap demikian.
“Sudah waktunya azan isya, Pak. Sebentar lagi jamaan tarawih akan segera tiba.” Kata Joko, lalu beranjak dari duduknya.
Entah kenapa dadaku bergemuruh dan airmataku menetes. Usiaku sudah diujung tanduk, namun sampai saat ini aku belum mampu mengembalikan nama baik surau-ku. Seandainya saja Ramadhan kali ini ada jamaah yang bersedia sholat di sana. Aku rela menjadi imam sekaligus Takmir di sana. Membersihkan dan merawatnya dengan baik. Namun sampai saat itu harapan itu hanya sekedar mimpi.
“Dari pada Bapak sendirian tinggal di sana, sebaiknya Bapak tinggal di sini bersama saya. Membantu saya merawat masjid ini, Pak.”
“Pengennya juga begitu, Ko, tapi Bapak kasihan dengan surau itu. Lima tahun Bapak mengumpulkan uang untuk membangunnya. Terasa berat untuk membongkarnya.”
 Yo wes lah, Pak. Semoga ada keajaiban.”
Azan isya telah berkumandang. Para jamaah berbondong-bondong datang. Airmataku kembali merembes. Dulu sebagian dari mereka adalah jamaah di surau-ku.
oOo

Lamongan, pukul 09.00 WIB
Ramadhan telah tiba. Denting waktu terasa berbeda dari hari sebelumnya. Ada nuansa samawi yang menghiasi bumi. Terdengar alunan tilawah menghiasi masjid dan surau-surau kecil di kampungku. Para penduduk jadi ringan tangan. Mudah mengelurkan berapa pun goceng dalam dompet. Membuatku iri, karena aku tak punya sepeser pun uang. Hidupku tergantung dari donatur masjid.
Aku berdiri di depan surau-ku. Tempat itu makin tidak terurus. Jamur dan lumut telah menghiasi dindingnya. Lantainya telah mengeras karena debu, dan sarang laba-laba memenuhi atap yang terbuat dari kayu. Aku menangis melihat kondisinya. Ini rumah Allah, tapi aku membiarkannya rusak.
Aku menarik nafas. Memutuskan untuk membersihkannya.
“Aku akan merawatmu kembali.” gumamku
Hari itu aku mulai membersihkan lantai mushola. Menyapu halaman yang penuh daun dan mengusir rayap-rayap yang mulai mengikis tiang mushola. Seperti ada cahaya yang tiba-tiba masuk dalam relung hati. Memintaku memperbaiki diri. Baik iman yang sudah senja ini maupun surau itu. Sebelum umurku termakan waktu, aku ingin ada seorang jamaah yang datang dan bersedia mengisi mushola itu meskipun hanya berjamaah denganku saja.
“Assalamualaikum, Pak.”
Aku segera menoleh dan kaget bukan main. Seorang wanita paruh baya bersama suami dan dua anaknya sedang tersenyum melihatku.
“Iya..” aku menaruh sapu dan mengusap debu di telapak tanganku.
Tiba-tiba wanita itu meraih tanganku dan menciumnya. Ia genggam tanganku erat. Ia menangis, hingga tubuhnya terguncang.
“Maafkan saya, Pak.”
Aku terdiam bingung. Siapa wanita berjilbab ini? Wajahnya tidak begitu asing, tapi aku tidak mengenalinya.
Tubuh wanita itu terguncang dan tersungkur dihadapanku. Aku semakin bingung.
“Saya Marti, Pak. Perempuan yang datang ke surau ini sepuluh tahun lalu.”
Seketika aku menarik tanganku dari genggamannya. Jantungku nyaris melompat. Tubuhku gemetar. Perempuan jalang itu telah kembali. Dia berjilbab bagai muslimah sejati. Aku mulai menjauhkan tubuhku darinya. Belum terbesit kata maaf untuknya.
“Untuk apa kau datang ke sini?”
“Saya ingin minta maaf, Pak.”
Aku mengalihkan pandangan. Ingin kugampar habis wajahnya, namun aku bukan malaikat malik yang layak menyiksa manusia. Ingin kumaafkan perbuatannya, tapi aku bukan Tuhan yang pemurah.
“Saya benar-benar minta maaf, Pak.” katanya di tengah isak tangisnya.
“Minta maaflah pada Allah. Kau menodai rumah-Nya. Jujur aku masih berat menerima perbuatanmu, tapi aku tidak layak menghakimimu.” Terangku menahan emosi.
Wanita itu berlutut dan menundukkan kepala. Sedang suaminya hanya terdiam sambil menggendong kedua anak mereka yang masih kecil-kecil. Tak tega rasanya aku melihat dirinya. Airmataku pun menetes. Ini bulan Ramadhan. Kenapa begitu berat memaafkan.
“Saya sedang berusaha berubah, Pak. Saya tau bagaimana kelakuan saya dulu. Saya berharap Allah mengampuni dosa besar saya.”
Aku menarik nafas. Melonggarkan otot-otot tubuh yang nyaris menggumpal. Tiba-tiba teringat ucapan Joko kemarin. Terlintas pula bagaimana jamaah tarawih tadi malam begitu khusyu. Ah, sepertinya aku harus menanggalkan dendam dan kebencian ini. Buktinya Allah masih memberi kesempatan pada perempuan ini untuk taubat. Itu berarti Allah memintaku untuk memaafkannya pula. Sudah sepuluh tahun berlalu. Terlalu senja usiaku untuk menyimpan dendam.
“Kami bersedia membangunkan mushola yang baru, Pak.” sahut suaminya
Aku menoleh. Melihat sosok lelaki yang nampak alim itu. Jidatnya saja sampai berwarna hitam. Pasti dia banyak bersujud.
“Saya mohon, Pak! izinkan saya untuk bertanggung jawab.” Pinta perempuan itu.
“Sudah masuk azan dhuhur, Sebaiknya kita sholat dulu.” kataku lalu melangkah menuju tempat wudhu.
Mereka terdiam melihatku.
“Mari kita sholat berjamaah di mushola ini. Sudah saya bersihkan.” Tambahku
Mereka masih terdiam, hingga akhirnya aku membalikkan badan dan tersenyum.
“Untuk pertama kalinya setelah peristiwa itu, saya ingin mushola ini kembali digunakan untuk berjamaah. Sekalipun hanya saya dan kalian.”
Wanita itu kembali meneteskan airmata. Begitupun suaminya. Mereka mengikutiku dan kami mengambil air wuldu bersama.
Akhirnya mushola itu kembali digunakan untuk sholat. Aku hanya berharap Allah menerima sholat kami. Semoga di awal Ramadhan ini menjadi awal pula kembalinya nama mushola Al-Hikmah. Sekalipun yang berjamaah hanya dua atau tiga orang. Namun aku masih berharap lebih dari itu.
Aku memaafkan masa lalu wanita itu, dan aku berharap ia sungguh telah berubah. Kedatangan dia kali ini cukup membawa ketenangan pada batinku. Dia sudah meminta maaf dan berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Solfatara yang dulu kala pernah membeku kini mencair kembali. Membuka tabir keindahan kala gunung menumpahkan magmanya. Begitupun aku, berusaha membuka maaf saat keimanan telah tumbuh lebih indah di bulan Ramadhan. 

10 Cerpen Terbaik Lomba Cerpen Masjid Salman ITB 2014