Selasa, 22 Desember 2015

Menghapus Noda Surau-Ku




Tubuhku sudah usang. Termakan usia senja. Membatukan memori gelap tiada sirna. Memecah deru angin lampau yang nyaris memotong nadiku. Berbaris dosa menghisap rupa-rupa tua sepertiku. Telah jauh hari kumencoba membentangkan altar maaf, tapi hati masih sempit dan sakit. Dosa dan kesalahan apa yang telah diri lakukan, hingga mereka pun tak jua memberi lampu maaf untukku.
Ramadhan sebentar lagi. Orang bilang pintu maaf Tuhan terbuka lebar. Benar kah? Apakah dosa-dosa menggunungku akan terhapus? Apakah aku pun bisa memaafkan perempuan jalang yang sudah merobohkan surau Al-Hikmah-ku? Hatiku masih membatu menyimpan dendam. Dasar perempuan jalang. Sedetik pun aku belum mampu memaafkan noda yang kau toreh di surau-ku.
Kini aku bagai solfatara usang. Tidak lagi memiliki harta dunia. Satu-satunya tempat berteduhku telah dinodai si perempuan jalang. Bagaimana bisa aku memaafkan perbuatannya. Bukan karena itu surau telah ternoda. Bukan aku marah karena harus membasuh darah, tapi karena surau itu adalah rumah-Nya.
“Maafkan lah, Pak. Sudah sepuluh tahun berlalu.” Kata Joko Takmir masjid Kalijaga.
“Bagaimana caraku memaafkan perempuan itu, jika sepuluh tahun dia menghilang. Gara-gara kelakuannya, surau-ku tak lagi di tempati untuk sholat. Penduduk desa merasa jijik dan menganggap surau itu adalah tempat maksiat.” Ceritaku menahan emosi.
Aku masih ingat peristiwa itu. Saat subuh menjelang. Ketika jamaah berbondong-bondong menuju surau Al-Hikmah sekaligus tempat tinggalku selama ini. Peristiwa heboh terjadi ketika seorang jamaah menemukan seorang lelaki dan perempuan yang sedang bermaksiat di sudut mushola. Tepatnya di balik mimbar. Seketika teriakan dan cacian menggema. Dua orang yang bermaksiat itu segera membereskan pakaiannya dan berlari pergi. Para jamaah berusaha mengejar, namun tidak berhasil menangkap mereka.
Noda darah menggoreskan luka di surau itu. Ceceran darah menjadi najis yang tidak akan terhapus di benak para jamaah, hingga mereka pun menyalahkanku. Sebagai takmir aku belum mampu merawat surau kecil itu dengan baik, hingga terjadi kemaksiatan di dalamnya.
Sepuluh tahun sudah surau itu kosong tanpa jamaah. Hanya aku yang masih setia  di sana. Mengumandangkan adzan dan sholat sendirian, meskipun aku tidak tahu apakah sholatku akan diterima.
Beberapa minggu ini aku memutuskan untuk sholat di masjid yang cukup jauh dari surau-ku. Aku berfikir untuk mencari pahala yang lebih besar. Apa lagi menjelang Ramadhan. Terpaksa aku membiarkan surau itu menjadi rumah kosong. Untuk apa mengumandangkan azan setiap hari jika tidak ada jamaah yang datang.
“Besok sudah dimulai puasa, Pak. Semoga perempuan itu kembali dan meminta maaf.”
Aku mengangguk saja. Aku juga berharap demikian.
“Sudah waktunya azan isya, Pak. Sebentar lagi jamaan tarawih akan segera tiba.” Kata Joko, lalu beranjak dari duduknya.
Entah kenapa dadaku bergemuruh dan airmataku menetes. Usiaku sudah diujung tanduk, namun sampai saat ini aku belum mampu mengembalikan nama baik surau-ku. Seandainya saja Ramadhan kali ini ada jamaah yang bersedia sholat di sana. Aku rela menjadi imam sekaligus Takmir di sana. Membersihkan dan merawatnya dengan baik. Namun sampai saat itu harapan itu hanya sekedar mimpi.
“Dari pada Bapak sendirian tinggal di sana, sebaiknya Bapak tinggal di sini bersama saya. Membantu saya merawat masjid ini, Pak.”
“Pengennya juga begitu, Ko, tapi Bapak kasihan dengan surau itu. Lima tahun Bapak mengumpulkan uang untuk membangunnya. Terasa berat untuk membongkarnya.”
 Yo wes lah, Pak. Semoga ada keajaiban.”
Azan isya telah berkumandang. Para jamaah berbondong-bondong datang. Airmataku kembali merembes. Dulu sebagian dari mereka adalah jamaah di surau-ku.
oOo

Lamongan, pukul 09.00 WIB
Ramadhan telah tiba. Denting waktu terasa berbeda dari hari sebelumnya. Ada nuansa samawi yang menghiasi bumi. Terdengar alunan tilawah menghiasi masjid dan surau-surau kecil di kampungku. Para penduduk jadi ringan tangan. Mudah mengelurkan berapa pun goceng dalam dompet. Membuatku iri, karena aku tak punya sepeser pun uang. Hidupku tergantung dari donatur masjid.
Aku berdiri di depan surau-ku. Tempat itu makin tidak terurus. Jamur dan lumut telah menghiasi dindingnya. Lantainya telah mengeras karena debu, dan sarang laba-laba memenuhi atap yang terbuat dari kayu. Aku menangis melihat kondisinya. Ini rumah Allah, tapi aku membiarkannya rusak.
Aku menarik nafas. Memutuskan untuk membersihkannya.
“Aku akan merawatmu kembali.” gumamku
Hari itu aku mulai membersihkan lantai mushola. Menyapu halaman yang penuh daun dan mengusir rayap-rayap yang mulai mengikis tiang mushola. Seperti ada cahaya yang tiba-tiba masuk dalam relung hati. Memintaku memperbaiki diri. Baik iman yang sudah senja ini maupun surau itu. Sebelum umurku termakan waktu, aku ingin ada seorang jamaah yang datang dan bersedia mengisi mushola itu meskipun hanya berjamaah denganku saja.
“Assalamualaikum, Pak.”
Aku segera menoleh dan kaget bukan main. Seorang wanita paruh baya bersama suami dan dua anaknya sedang tersenyum melihatku.
“Iya..” aku menaruh sapu dan mengusap debu di telapak tanganku.
Tiba-tiba wanita itu meraih tanganku dan menciumnya. Ia genggam tanganku erat. Ia menangis, hingga tubuhnya terguncang.
“Maafkan saya, Pak.”
Aku terdiam bingung. Siapa wanita berjilbab ini? Wajahnya tidak begitu asing, tapi aku tidak mengenalinya.
Tubuh wanita itu terguncang dan tersungkur dihadapanku. Aku semakin bingung.
“Saya Marti, Pak. Perempuan yang datang ke surau ini sepuluh tahun lalu.”
Seketika aku menarik tanganku dari genggamannya. Jantungku nyaris melompat. Tubuhku gemetar. Perempuan jalang itu telah kembali. Dia berjilbab bagai muslimah sejati. Aku mulai menjauhkan tubuhku darinya. Belum terbesit kata maaf untuknya.
“Untuk apa kau datang ke sini?”
“Saya ingin minta maaf, Pak.”
Aku mengalihkan pandangan. Ingin kugampar habis wajahnya, namun aku bukan malaikat malik yang layak menyiksa manusia. Ingin kumaafkan perbuatannya, tapi aku bukan Tuhan yang pemurah.
“Saya benar-benar minta maaf, Pak.” katanya di tengah isak tangisnya.
“Minta maaflah pada Allah. Kau menodai rumah-Nya. Jujur aku masih berat menerima perbuatanmu, tapi aku tidak layak menghakimimu.” Terangku menahan emosi.
Wanita itu berlutut dan menundukkan kepala. Sedang suaminya hanya terdiam sambil menggendong kedua anak mereka yang masih kecil-kecil. Tak tega rasanya aku melihat dirinya. Airmataku pun menetes. Ini bulan Ramadhan. Kenapa begitu berat memaafkan.
“Saya sedang berusaha berubah, Pak. Saya tau bagaimana kelakuan saya dulu. Saya berharap Allah mengampuni dosa besar saya.”
Aku menarik nafas. Melonggarkan otot-otot tubuh yang nyaris menggumpal. Tiba-tiba teringat ucapan Joko kemarin. Terlintas pula bagaimana jamaah tarawih tadi malam begitu khusyu. Ah, sepertinya aku harus menanggalkan dendam dan kebencian ini. Buktinya Allah masih memberi kesempatan pada perempuan ini untuk taubat. Itu berarti Allah memintaku untuk memaafkannya pula. Sudah sepuluh tahun berlalu. Terlalu senja usiaku untuk menyimpan dendam.
“Kami bersedia membangunkan mushola yang baru, Pak.” sahut suaminya
Aku menoleh. Melihat sosok lelaki yang nampak alim itu. Jidatnya saja sampai berwarna hitam. Pasti dia banyak bersujud.
“Saya mohon, Pak! izinkan saya untuk bertanggung jawab.” Pinta perempuan itu.
“Sudah masuk azan dhuhur, Sebaiknya kita sholat dulu.” kataku lalu melangkah menuju tempat wudhu.
Mereka terdiam melihatku.
“Mari kita sholat berjamaah di mushola ini. Sudah saya bersihkan.” Tambahku
Mereka masih terdiam, hingga akhirnya aku membalikkan badan dan tersenyum.
“Untuk pertama kalinya setelah peristiwa itu, saya ingin mushola ini kembali digunakan untuk berjamaah. Sekalipun hanya saya dan kalian.”
Wanita itu kembali meneteskan airmata. Begitupun suaminya. Mereka mengikutiku dan kami mengambil air wuldu bersama.
Akhirnya mushola itu kembali digunakan untuk sholat. Aku hanya berharap Allah menerima sholat kami. Semoga di awal Ramadhan ini menjadi awal pula kembalinya nama mushola Al-Hikmah. Sekalipun yang berjamaah hanya dua atau tiga orang. Namun aku masih berharap lebih dari itu.
Aku memaafkan masa lalu wanita itu, dan aku berharap ia sungguh telah berubah. Kedatangan dia kali ini cukup membawa ketenangan pada batinku. Dia sudah meminta maaf dan berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Solfatara yang dulu kala pernah membeku kini mencair kembali. Membuka tabir keindahan kala gunung menumpahkan magmanya. Begitupun aku, berusaha membuka maaf saat keimanan telah tumbuh lebih indah di bulan Ramadhan. 

10 Cerpen Terbaik Lomba Cerpen Masjid Salman ITB 2014

0 komentar:

Posting Komentar