Tubuhku
sudah usang. Termakan usia senja. Membatukan memori gelap tiada sirna. Memecah
deru angin lampau yang nyaris memotong nadiku. Berbaris dosa menghisap
rupa-rupa tua sepertiku. Telah jauh hari kumencoba membentangkan altar maaf,
tapi hati masih sempit dan sakit. Dosa dan kesalahan apa yang telah diri
lakukan, hingga mereka pun tak jua memberi lampu maaf untukku.
Ramadhan
sebentar lagi. Orang bilang pintu maaf Tuhan terbuka lebar. Benar kah? Apakah
dosa-dosa menggunungku akan terhapus? Apakah aku pun bisa memaafkan perempuan jalang
yang sudah merobohkan surau Al-Hikmah-ku? Hatiku masih membatu menyimpan
dendam. Dasar perempuan jalang. Sedetik pun aku belum mampu memaafkan noda yang
kau toreh di surau-ku.
Kini
aku bagai solfatara usang. Tidak lagi memiliki harta dunia. Satu-satunya tempat
berteduhku telah dinodai si perempuan jalang. Bagaimana bisa aku memaafkan
perbuatannya. Bukan karena itu surau telah ternoda. Bukan aku marah karena
harus membasuh darah, tapi karena surau itu adalah rumah-Nya.
“Maafkan
lah, Pak. Sudah sepuluh tahun berlalu.” Kata Joko Takmir masjid Kalijaga.
“Bagaimana
caraku memaafkan perempuan itu, jika sepuluh tahun dia menghilang. Gara-gara
kelakuannya, surau-ku tak lagi di tempati untuk sholat. Penduduk desa merasa
jijik dan menganggap surau itu adalah tempat maksiat.” Ceritaku menahan emosi.
Aku
masih ingat peristiwa itu. Saat subuh menjelang. Ketika jamaah berbondong-bondong
menuju surau Al-Hikmah sekaligus tempat tinggalku selama ini. Peristiwa heboh
terjadi ketika seorang jamaah menemukan seorang lelaki dan perempuan yang
sedang bermaksiat di sudut mushola. Tepatnya di balik mimbar. Seketika teriakan
dan cacian menggema. Dua orang yang bermaksiat itu segera membereskan
pakaiannya dan berlari pergi. Para jamaah berusaha mengejar, namun tidak
berhasil menangkap mereka.
Noda
darah menggoreskan luka di surau itu. Ceceran darah menjadi najis yang tidak
akan terhapus di benak para jamaah, hingga mereka pun menyalahkanku. Sebagai takmir
aku belum mampu merawat surau kecil itu dengan baik, hingga terjadi kemaksiatan
di dalamnya.
Sepuluh
tahun sudah surau itu kosong tanpa jamaah. Hanya aku yang masih setia di sana. Mengumandangkan adzan dan sholat
sendirian, meskipun aku tidak tahu apakah sholatku akan diterima.
Beberapa
minggu ini aku memutuskan untuk sholat di masjid yang cukup jauh dari surau-ku.
Aku berfikir untuk mencari pahala yang lebih besar. Apa lagi menjelang Ramadhan.
Terpaksa aku membiarkan surau itu menjadi rumah kosong. Untuk apa mengumandangkan
azan setiap hari jika tidak ada jamaah yang datang.
“Besok
sudah dimulai puasa, Pak. Semoga perempuan itu kembali dan meminta maaf.”
Aku
mengangguk saja. Aku juga berharap demikian.
“Sudah
waktunya azan isya, Pak. Sebentar lagi jamaan tarawih akan segera tiba.” Kata
Joko, lalu beranjak dari duduknya.
Entah
kenapa dadaku bergemuruh dan airmataku menetes. Usiaku sudah diujung tanduk,
namun sampai saat ini aku belum mampu mengembalikan nama baik surau-ku.
Seandainya saja Ramadhan kali ini ada jamaah yang bersedia sholat di sana. Aku
rela menjadi imam sekaligus Takmir di sana. Membersihkan dan merawatnya dengan
baik. Namun sampai saat itu harapan itu hanya sekedar mimpi.
“Dari
pada Bapak sendirian tinggal di sana, sebaiknya Bapak tinggal di sini bersama
saya. Membantu saya merawat masjid ini, Pak.”
“Pengennya
juga begitu, Ko, tapi Bapak kasihan dengan surau itu. Lima tahun Bapak
mengumpulkan uang untuk membangunnya. Terasa berat untuk membongkarnya.”
“Yo wes
lah, Pak. Semoga ada keajaiban.”
Azan
isya telah berkumandang. Para jamaah berbondong-bondong datang. Airmataku
kembali merembes. Dulu sebagian dari mereka adalah jamaah di surau-ku.
oOo
Lamongan,
pukul 09.00 WIB
Ramadhan
telah tiba. Denting waktu terasa berbeda dari hari sebelumnya. Ada nuansa
samawi yang menghiasi bumi. Terdengar alunan tilawah menghiasi masjid dan
surau-surau kecil di kampungku. Para penduduk jadi ringan tangan. Mudah
mengelurkan berapa pun goceng dalam
dompet. Membuatku iri, karena aku tak punya sepeser pun uang. Hidupku tergantung
dari donatur masjid.
Aku
berdiri di depan surau-ku. Tempat itu makin tidak terurus. Jamur dan lumut
telah menghiasi dindingnya. Lantainya telah mengeras karena debu, dan sarang
laba-laba memenuhi atap yang terbuat dari kayu. Aku menangis melihat kondisinya.
Ini rumah Allah, tapi aku membiarkannya rusak.
Aku
menarik nafas. Memutuskan untuk membersihkannya.
“Aku
akan merawatmu kembali.” gumamku
Hari
itu aku mulai membersihkan lantai mushola. Menyapu halaman yang penuh daun dan
mengusir rayap-rayap yang mulai mengikis tiang mushola. Seperti ada cahaya yang
tiba-tiba masuk dalam relung hati. Memintaku memperbaiki diri. Baik iman yang
sudah senja ini maupun surau itu. Sebelum umurku termakan waktu, aku ingin ada
seorang jamaah yang datang dan bersedia mengisi mushola itu meskipun hanya
berjamaah denganku saja.
“Assalamualaikum,
Pak.”
Aku
segera menoleh dan kaget bukan main. Seorang wanita paruh baya bersama suami
dan dua anaknya sedang tersenyum melihatku.
“Iya..”
aku menaruh sapu dan mengusap debu di telapak tanganku.
Tiba-tiba
wanita itu meraih tanganku dan menciumnya. Ia genggam tanganku erat. Ia
menangis, hingga tubuhnya terguncang.
“Maafkan
saya, Pak.”
Aku
terdiam bingung. Siapa wanita berjilbab ini? Wajahnya tidak begitu asing, tapi
aku tidak mengenalinya.
Tubuh
wanita itu terguncang dan tersungkur dihadapanku. Aku semakin bingung.
“Saya
Marti, Pak. Perempuan yang datang ke surau ini sepuluh tahun lalu.”
Seketika
aku menarik tanganku dari genggamannya. Jantungku nyaris melompat. Tubuhku
gemetar. Perempuan jalang itu telah kembali. Dia berjilbab bagai muslimah
sejati. Aku mulai menjauhkan tubuhku darinya. Belum terbesit kata maaf
untuknya.
“Untuk
apa kau datang ke sini?”
“Saya
ingin minta maaf, Pak.”
Aku
mengalihkan pandangan. Ingin kugampar habis wajahnya, namun aku bukan malaikat
malik yang layak menyiksa manusia. Ingin kumaafkan perbuatannya, tapi aku bukan
Tuhan yang pemurah.
“Saya
benar-benar minta maaf, Pak.” katanya di tengah isak tangisnya.
“Minta
maaflah pada Allah. Kau menodai rumah-Nya. Jujur aku masih berat menerima
perbuatanmu, tapi aku tidak layak menghakimimu.” Terangku menahan emosi.
Wanita
itu berlutut dan menundukkan kepala. Sedang suaminya hanya terdiam sambil
menggendong kedua anak mereka yang masih kecil-kecil. Tak tega rasanya aku
melihat dirinya. Airmataku pun menetes. Ini bulan Ramadhan. Kenapa begitu berat
memaafkan.
“Saya
sedang berusaha berubah, Pak. Saya tau bagaimana kelakuan saya dulu. Saya
berharap Allah mengampuni dosa besar saya.”
Aku
menarik nafas. Melonggarkan otot-otot tubuh yang nyaris menggumpal. Tiba-tiba
teringat ucapan Joko kemarin. Terlintas pula bagaimana jamaah tarawih tadi
malam begitu khusyu. Ah, sepertinya aku harus menanggalkan dendam dan kebencian
ini. Buktinya Allah masih memberi kesempatan pada perempuan ini untuk taubat.
Itu berarti Allah memintaku untuk memaafkannya pula. Sudah sepuluh tahun
berlalu. Terlalu senja usiaku untuk menyimpan dendam.
“Kami
bersedia membangunkan mushola yang baru, Pak.” sahut suaminya
Aku
menoleh. Melihat sosok lelaki yang nampak alim itu. Jidatnya saja sampai
berwarna hitam. Pasti dia banyak bersujud.
“Saya
mohon, Pak! izinkan saya untuk bertanggung jawab.” Pinta perempuan itu.
“Sudah
masuk azan dhuhur, Sebaiknya kita sholat dulu.” kataku lalu melangkah menuju
tempat wudhu.
Mereka
terdiam melihatku.
“Mari
kita sholat berjamaah di mushola ini. Sudah saya bersihkan.” Tambahku
Mereka
masih terdiam, hingga akhirnya aku membalikkan badan dan tersenyum.
“Untuk
pertama kalinya setelah peristiwa itu, saya ingin mushola ini kembali digunakan
untuk berjamaah. Sekalipun hanya saya dan kalian.”
Wanita
itu kembali meneteskan airmata. Begitupun suaminya. Mereka mengikutiku dan kami
mengambil air wuldu bersama.
Akhirnya
mushola itu kembali digunakan untuk sholat. Aku hanya berharap Allah menerima
sholat kami. Semoga di awal Ramadhan ini menjadi awal pula kembalinya nama
mushola Al-Hikmah. Sekalipun yang berjamaah hanya dua atau tiga orang. Namun
aku masih berharap lebih dari itu.
Aku
memaafkan masa lalu wanita itu, dan aku berharap ia sungguh telah berubah.
Kedatangan dia kali ini cukup membawa ketenangan pada batinku. Dia sudah
meminta maaf dan berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Solfatara
yang dulu kala pernah membeku kini mencair kembali. Membuka tabir keindahan
kala gunung menumpahkan magmanya. Begitupun aku, berusaha membuka maaf saat
keimanan telah tumbuh lebih indah di bulan Ramadhan.
10 Cerpen Terbaik Lomba Cerpen Masjid Salman ITB 2014