Selasa, 22 Desember 2015

Menghapus Noda Surau-Ku




Tubuhku sudah usang. Termakan usia senja. Membatukan memori gelap tiada sirna. Memecah deru angin lampau yang nyaris memotong nadiku. Berbaris dosa menghisap rupa-rupa tua sepertiku. Telah jauh hari kumencoba membentangkan altar maaf, tapi hati masih sempit dan sakit. Dosa dan kesalahan apa yang telah diri lakukan, hingga mereka pun tak jua memberi lampu maaf untukku.
Ramadhan sebentar lagi. Orang bilang pintu maaf Tuhan terbuka lebar. Benar kah? Apakah dosa-dosa menggunungku akan terhapus? Apakah aku pun bisa memaafkan perempuan jalang yang sudah merobohkan surau Al-Hikmah-ku? Hatiku masih membatu menyimpan dendam. Dasar perempuan jalang. Sedetik pun aku belum mampu memaafkan noda yang kau toreh di surau-ku.
Kini aku bagai solfatara usang. Tidak lagi memiliki harta dunia. Satu-satunya tempat berteduhku telah dinodai si perempuan jalang. Bagaimana bisa aku memaafkan perbuatannya. Bukan karena itu surau telah ternoda. Bukan aku marah karena harus membasuh darah, tapi karena surau itu adalah rumah-Nya.
“Maafkan lah, Pak. Sudah sepuluh tahun berlalu.” Kata Joko Takmir masjid Kalijaga.
“Bagaimana caraku memaafkan perempuan itu, jika sepuluh tahun dia menghilang. Gara-gara kelakuannya, surau-ku tak lagi di tempati untuk sholat. Penduduk desa merasa jijik dan menganggap surau itu adalah tempat maksiat.” Ceritaku menahan emosi.
Aku masih ingat peristiwa itu. Saat subuh menjelang. Ketika jamaah berbondong-bondong menuju surau Al-Hikmah sekaligus tempat tinggalku selama ini. Peristiwa heboh terjadi ketika seorang jamaah menemukan seorang lelaki dan perempuan yang sedang bermaksiat di sudut mushola. Tepatnya di balik mimbar. Seketika teriakan dan cacian menggema. Dua orang yang bermaksiat itu segera membereskan pakaiannya dan berlari pergi. Para jamaah berusaha mengejar, namun tidak berhasil menangkap mereka.
Noda darah menggoreskan luka di surau itu. Ceceran darah menjadi najis yang tidak akan terhapus di benak para jamaah, hingga mereka pun menyalahkanku. Sebagai takmir aku belum mampu merawat surau kecil itu dengan baik, hingga terjadi kemaksiatan di dalamnya.
Sepuluh tahun sudah surau itu kosong tanpa jamaah. Hanya aku yang masih setia  di sana. Mengumandangkan adzan dan sholat sendirian, meskipun aku tidak tahu apakah sholatku akan diterima.
Beberapa minggu ini aku memutuskan untuk sholat di masjid yang cukup jauh dari surau-ku. Aku berfikir untuk mencari pahala yang lebih besar. Apa lagi menjelang Ramadhan. Terpaksa aku membiarkan surau itu menjadi rumah kosong. Untuk apa mengumandangkan azan setiap hari jika tidak ada jamaah yang datang.
“Besok sudah dimulai puasa, Pak. Semoga perempuan itu kembali dan meminta maaf.”
Aku mengangguk saja. Aku juga berharap demikian.
“Sudah waktunya azan isya, Pak. Sebentar lagi jamaan tarawih akan segera tiba.” Kata Joko, lalu beranjak dari duduknya.
Entah kenapa dadaku bergemuruh dan airmataku menetes. Usiaku sudah diujung tanduk, namun sampai saat ini aku belum mampu mengembalikan nama baik surau-ku. Seandainya saja Ramadhan kali ini ada jamaah yang bersedia sholat di sana. Aku rela menjadi imam sekaligus Takmir di sana. Membersihkan dan merawatnya dengan baik. Namun sampai saat itu harapan itu hanya sekedar mimpi.
“Dari pada Bapak sendirian tinggal di sana, sebaiknya Bapak tinggal di sini bersama saya. Membantu saya merawat masjid ini, Pak.”
“Pengennya juga begitu, Ko, tapi Bapak kasihan dengan surau itu. Lima tahun Bapak mengumpulkan uang untuk membangunnya. Terasa berat untuk membongkarnya.”
 Yo wes lah, Pak. Semoga ada keajaiban.”
Azan isya telah berkumandang. Para jamaah berbondong-bondong datang. Airmataku kembali merembes. Dulu sebagian dari mereka adalah jamaah di surau-ku.
oOo

Lamongan, pukul 09.00 WIB
Ramadhan telah tiba. Denting waktu terasa berbeda dari hari sebelumnya. Ada nuansa samawi yang menghiasi bumi. Terdengar alunan tilawah menghiasi masjid dan surau-surau kecil di kampungku. Para penduduk jadi ringan tangan. Mudah mengelurkan berapa pun goceng dalam dompet. Membuatku iri, karena aku tak punya sepeser pun uang. Hidupku tergantung dari donatur masjid.
Aku berdiri di depan surau-ku. Tempat itu makin tidak terurus. Jamur dan lumut telah menghiasi dindingnya. Lantainya telah mengeras karena debu, dan sarang laba-laba memenuhi atap yang terbuat dari kayu. Aku menangis melihat kondisinya. Ini rumah Allah, tapi aku membiarkannya rusak.
Aku menarik nafas. Memutuskan untuk membersihkannya.
“Aku akan merawatmu kembali.” gumamku
Hari itu aku mulai membersihkan lantai mushola. Menyapu halaman yang penuh daun dan mengusir rayap-rayap yang mulai mengikis tiang mushola. Seperti ada cahaya yang tiba-tiba masuk dalam relung hati. Memintaku memperbaiki diri. Baik iman yang sudah senja ini maupun surau itu. Sebelum umurku termakan waktu, aku ingin ada seorang jamaah yang datang dan bersedia mengisi mushola itu meskipun hanya berjamaah denganku saja.
“Assalamualaikum, Pak.”
Aku segera menoleh dan kaget bukan main. Seorang wanita paruh baya bersama suami dan dua anaknya sedang tersenyum melihatku.
“Iya..” aku menaruh sapu dan mengusap debu di telapak tanganku.
Tiba-tiba wanita itu meraih tanganku dan menciumnya. Ia genggam tanganku erat. Ia menangis, hingga tubuhnya terguncang.
“Maafkan saya, Pak.”
Aku terdiam bingung. Siapa wanita berjilbab ini? Wajahnya tidak begitu asing, tapi aku tidak mengenalinya.
Tubuh wanita itu terguncang dan tersungkur dihadapanku. Aku semakin bingung.
“Saya Marti, Pak. Perempuan yang datang ke surau ini sepuluh tahun lalu.”
Seketika aku menarik tanganku dari genggamannya. Jantungku nyaris melompat. Tubuhku gemetar. Perempuan jalang itu telah kembali. Dia berjilbab bagai muslimah sejati. Aku mulai menjauhkan tubuhku darinya. Belum terbesit kata maaf untuknya.
“Untuk apa kau datang ke sini?”
“Saya ingin minta maaf, Pak.”
Aku mengalihkan pandangan. Ingin kugampar habis wajahnya, namun aku bukan malaikat malik yang layak menyiksa manusia. Ingin kumaafkan perbuatannya, tapi aku bukan Tuhan yang pemurah.
“Saya benar-benar minta maaf, Pak.” katanya di tengah isak tangisnya.
“Minta maaflah pada Allah. Kau menodai rumah-Nya. Jujur aku masih berat menerima perbuatanmu, tapi aku tidak layak menghakimimu.” Terangku menahan emosi.
Wanita itu berlutut dan menundukkan kepala. Sedang suaminya hanya terdiam sambil menggendong kedua anak mereka yang masih kecil-kecil. Tak tega rasanya aku melihat dirinya. Airmataku pun menetes. Ini bulan Ramadhan. Kenapa begitu berat memaafkan.
“Saya sedang berusaha berubah, Pak. Saya tau bagaimana kelakuan saya dulu. Saya berharap Allah mengampuni dosa besar saya.”
Aku menarik nafas. Melonggarkan otot-otot tubuh yang nyaris menggumpal. Tiba-tiba teringat ucapan Joko kemarin. Terlintas pula bagaimana jamaah tarawih tadi malam begitu khusyu. Ah, sepertinya aku harus menanggalkan dendam dan kebencian ini. Buktinya Allah masih memberi kesempatan pada perempuan ini untuk taubat. Itu berarti Allah memintaku untuk memaafkannya pula. Sudah sepuluh tahun berlalu. Terlalu senja usiaku untuk menyimpan dendam.
“Kami bersedia membangunkan mushola yang baru, Pak.” sahut suaminya
Aku menoleh. Melihat sosok lelaki yang nampak alim itu. Jidatnya saja sampai berwarna hitam. Pasti dia banyak bersujud.
“Saya mohon, Pak! izinkan saya untuk bertanggung jawab.” Pinta perempuan itu.
“Sudah masuk azan dhuhur, Sebaiknya kita sholat dulu.” kataku lalu melangkah menuju tempat wudhu.
Mereka terdiam melihatku.
“Mari kita sholat berjamaah di mushola ini. Sudah saya bersihkan.” Tambahku
Mereka masih terdiam, hingga akhirnya aku membalikkan badan dan tersenyum.
“Untuk pertama kalinya setelah peristiwa itu, saya ingin mushola ini kembali digunakan untuk berjamaah. Sekalipun hanya saya dan kalian.”
Wanita itu kembali meneteskan airmata. Begitupun suaminya. Mereka mengikutiku dan kami mengambil air wuldu bersama.
Akhirnya mushola itu kembali digunakan untuk sholat. Aku hanya berharap Allah menerima sholat kami. Semoga di awal Ramadhan ini menjadi awal pula kembalinya nama mushola Al-Hikmah. Sekalipun yang berjamaah hanya dua atau tiga orang. Namun aku masih berharap lebih dari itu.
Aku memaafkan masa lalu wanita itu, dan aku berharap ia sungguh telah berubah. Kedatangan dia kali ini cukup membawa ketenangan pada batinku. Dia sudah meminta maaf dan berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Solfatara yang dulu kala pernah membeku kini mencair kembali. Membuka tabir keindahan kala gunung menumpahkan magmanya. Begitupun aku, berusaha membuka maaf saat keimanan telah tumbuh lebih indah di bulan Ramadhan. 

10 Cerpen Terbaik Lomba Cerpen Masjid Salman ITB 2014

Senin, 21 Desember 2015

Dan Buronan Masa Laluku


DAN BURONAN MASA LALUKU
Ulin Nurviana

Ketapang, Banyuwangi 11 Desember
“Tidak mungkin.”
Kubekap mulutku seketika saat mata ini menangkap sesosok manusia yang selama ini menjadi buruan media masa. Keringat dingin mulai berhamburan dalam tubuhku. Tak tanggung, jantungku melompat-lompat tak tentu ritmenya.Tubuhku memanas seketika. Aku merasa suhu di sekitarku naik hingga kebekuan menyerangku. Pasalnya lelaki yang ada di depanku ini telah menjadi icon kejahatan selama setahun terakhir. Pembunuhan berantai yang ia lakukan telah memusnahkan kedamaian di kota kecil Banyuwangi.
Aku tidak pernah membayangkan akan bertemu Dan di kedai kopi kecil ini. Lelaki itu memakai topi warna hitam. Rambutnya yang panjang hingga tengkuk kepala membuat sebagian dari wajahnya tidak jelas terlihat. Namun aku bisa melihat jelas siapa dia. Ingatanku tentang dia dua tahun lalu masih membatu dalam otakku. Tak mungkin aku melupakannya.
Dua tahun lalu ia pernah meminting tubuhku dengan tangannya yang kekar. Konflik diantara kami berawal dari embernya mulutku.Sudah menjadi kewajiban masyarakat untuk melaporkan setiap kejadian janggal di sekitar kita, dan aku adalah salah satu pelopor terkait kejahatan Dan. Dua tahun lalu ia nyaris membunuh salah seorang nelayan yang sedang melabuhkan kapalnya. Pasalnya nelayan tersebut enggan memberikan uang hasil jerih payahnya berlayar kepada Dan.
Dan merampas uang yang setengah mati nelayan itu genggam.Tanpa belas kasihan Dan menendang nelayan tersebut hingga tersungkur.Nelayan itu masih tak menyerah.Ia berusaha berlari mengejar Dan. Namun nasib sial membuntutinya. Batu besar yang Dan lempar tepat mengenahi kepala si nelayan hingga ia jatuh tak sadarkan diri. Aku yang melihat kejadian itu segera berteriak meminta pertolongan, tapi nahas, karena tangan besar Dan telah menjepit leherku hingga napasku tersendat.
“Jika kau berteriak lagi.Kupotong lehermu!” gertaknya menakutiku.
Ketika itu aku hanya bisa pasrah tanpa suara.Jujur aku tak mau mati.Masih banyak mimpi yang ingin kucapai, sehingga ketika Dan memukul tengkukku hingga aku jatuh tersungkur, hanya kebisuan yang menghiasi mulutku.Lelaki itu pergi meninggalkan ketakutan dalam diriku sampai dua tahun berlalu.
“Kau masih mengingatku?”
Suara bariton itu membuyarkan lamunanku.Seketika tubuhku menegang. Dan telah berdiri tepat di depan mataku.Tatapan matanya bak pisau yang secara spontan telah menusuk retina mataku hingga getaran luar biasa merambat memenuhi sekujur tubuhku.Lelaki ini, dia telah melakukan kejatahan selama tiga tahun, dan telah menjadi buronan utama setahun terakhir.
“Kenapa, Ken?” dia tahu namaku.
Satu persatu neuron motorik dalam tubuhku seperti berhenti bekerja.Aku menyadari hanya ada kami berdua di dalam kedai kecil ini.Beberapa orang yang tadi sempat datang telah pergi, dan ibuku tak kuketahui pergi kemana. Hanya Tuhan yang akan menyelamatkanku. Berharap aku lolos untuk kedua kalinya.
“Kau..Kau tau namaku.” Suaraku tertahan
Dia tersenyum sinis, lalu tangan kanannya mulai memegang bahuku.Entah kenapa aku merasa otakku tak mampu memerintah tanganku untuk menampis tangan itu.Setidaknya tak membiarkan tangan kotor itu menyentuh pundakku.
Aura pembunuh yang kurasakan darinya tiba-tiba berubah.Sorot matanya meredup, dan tergores senyum tipis di bibirnya. Senyum penuh luka, yang tidak kuketahui seperti apa luka itu. Namun aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi.Hatikah?Apakah dia masih memiliki itu?
“Niken..” perlahan wajahnya tertunduk, dan tangan itu telah beralih dari bahuku.
Aku tidak tau apa yang terjadi dengannya. Perlahan kulangkahkan kakiku menjauh darinya.Namun tubuhku tertahan saat tangan besar itu mencengkeram lenganku.Merasa terjepit dan ketakutan, aku pun berteriak. Namun sebelum suara itu memecah keheningan ruang seluas 5x6 meter itu, tangan besar yang lain membekap mulutku.
“Kumohon jangan berteriak!” pintanya
Permintaan dan tatapan itu membuatku menurut begitu saja.Entah kenapa ketakutan dalam diriku perlahan terkikis.Aku merasa tidak asing dengan tatapan itu.Seperti pernah melihatnya jauh sebelum aku tau siapa Dan.
“Kau ingat aku, Niken?” suara itu terdengar lebih bersahabat.
Aku tidak menjawab.Hanya kutatap wajah yang kian detik kian tidak asing buatku.Kucoba memutar memori masa lalu.Merangkai serpihan sejarah usang yang pernah terjadi. Dan? Siapakah lelaki ini?Aku sulit menemukan sosoknya di masa lalu.
“Siapa?”
Perlahan Dan menyisingkan lengan kanan jaket hitamnya.Terlihat bekas jatihan di lengannya.
“Kau ingat masa sepuluh tahun lalu?Tangan ini berusaha meraihmu sebelum sebuah mobil menabrakmu.” Cecernya
Deggg…
Kurasakan perih merayap dalam tubuhku.Aku ingat betul peristiwa itu.Sebuah mobil nyaris menghancurkan tubuhku.Namun Danny –sahabatku– telah mengorbankan tangannya demi menolongku.Namun pengorbanan itu tidak pernah bernilai dihadapan orangtuaku. Pasalnya Danny hanya anak seorang perempuan janda yang malang. Orangtuaku tidak menyukai aku bersahabat dengannya, sehingga pengorbanan Danny padaku justru membuat kami terpisah hingga sepuluh tahun berlalu.
“Da, Da, Danny?”
Airmata meluncur dari kedua matanya.Ia mengangguk begitu saja, dan seketika tubuhku gemetar. Setengah mati aku tidak percaya bahwa Dan adalah sahabatku Danny –Lelaki hangat yang pernah kukenal.Perlahan kulangkahkan kakiku mundur hingga tubuhku membentur dinding.Aku masih tidak percaya.
“Ibuku sakit, Niken.Kau tau aku orang miskin. Demi Ibu, aku rela menjadi seorang buronan. Demi ibu, aku telah melukai banyak orang.Biaya pengobatan Ibu terlampau mahal. Aku tidak tau harus mencari uang sebanyak itu dengan cara bagaimana, sehingga kuputuskan menjadi perampok.” Cecernya dengan uraian airmata.
Aku merasa tubuhku kian lemas.Perlahan aku mulai mengakui bahwa dia memang Danny.Airmataku membedah. Airmata yang kutahan selama hampir setengah jam sejak kaki Dan memasuki kedai kecilku.Seandainya aku telah menyadari siapa Dan sejak dua tahun lalu saat di pelabuhan, mungkin aku bisa menghentikan aksi kejahatannya saat itu juga.
“Kenapa?” napasku mulai sesak.Amat perih untuk dirasa.
Perlahan Dan mendekatiku.Kembali berdiri tepat di depanku.Mencoba menelusuri sudut-sudut masa lalu yang nyaris terhapus waktu.Kehangatan itu masih bisa kurasakan. Senyum itu masih seteduh dulu, meskipun telah ternodai oleh kerasnya hidup yang ia lalui.
“Perjuanganku sia-sia, Niken.Ibuku telah meninggal beberapa bulan lalu karena kangker.Tuhan tidak mengizinkan dia sembuh dari pengobatan yang haram. Tuhan..membenciku, sehingga mengambilnya.” Tangisnya pecah.
Tubuhnya terguncang oleh isak yang tak mampu ia tahan. Ya Tuhan, aku melihat jelas luka itu.Dia terluka parah.Kehidupan ini terlalu kejam untuknya.Kenapa?Kenapa harus dia yang merasakannya?
“Aku akan menyerahkan diriku.”
“Danny..” kubekap mulutku karena tak sanggup menerima kenyataan ini. Kerinduan selama sepuluh tahun harus terbalas dengan luka.
Tuhan, aku ingin memeluknya.Tubuh kekar itu pasti merindukan kasih sayang.Namun aku tak mampu meraih tubuhnya.Aku merasa ada dinding penghalang yang membuatnya terlalu jauh untuk kuraih.Akhirnya tubuhku tetap membeku di depannya.Hanya airmata yang bisa kutorehkan.
Sirine mobil polisi mulai terdengar. Entah siapa yang melapor, tapi beberapa mobil polisi telah berhenti di depan kedaiku. Puluhan polisi berhamburan keluar dari mobil.Mereka mengangkat pistol masing-masing.Waspada jika Danny berani bergerak dan melawan.Beberapa dari mereka mulai memasuki kedaiku, dan disaat itulah aku tak mampu menahan tubuhku. Kuhamburkan tubuhku pada rengkuhannya. Aku tak mampu menutupi bahwa aku takut kehilangannya untuk kedua kalinya.
“Aku merindukanmu, Danny.”
Tubuhku bergetar dalam rengkuhannya. Kurasakan begitu nyata cairan hitam membasahi punggungnya. Tanganku telah terkotori oleh darah yang keluar dari punggungnya. Di saat itulah aku menyadari bahwa polisi telah menembak punggung Dan saat tubuhku kujatuhkan padanya.
“Ti, tidak mungkin.”Kutatap telapak tangan yang bersimbah darah.
“Tidak semua penjahat itu hatinya mati. Dia, selalu punya alasan kenapa berbuat seperti itu.Aku, aku ingin kau tau, kalau di luar sana. Ribuan orang, bernasib sama denganku. Mereka butuh masa depan..” tuturnya dengan suara terdendat-sendat. Kutahu ia berusaha menahan sakit.
Kutahan airmata sebisaku, dan semakin erat kupeluk tubuhnya. Aku tidak mau persahabatan kita berakhir seperti ini. Untuk terakhir kalinya, izinkan aku memeluknya Tuhan. Izinkan aku memberikan kehangatan di sisa hidupnya.
“Niken, maafkan..aku.”
Itu kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya sebelum tubuhnya jatuh tersungkur karena tanganku tak mampu menahan tubuhnya.Tangisku meledak, dan polisi segera membawa tubuhnya menjauh dari pandanganku. Detik itu juga aku sadar, bahwa aku telah kehilangan Danny untuk selamanya.


Jember, 23 Januari 2014
Kankukirim rasa untukmu di surga.

Minggu, 20 Desember 2015

MACCHIATO, CARAMU MENGHAPUS LUKAKU


MACCHIATO, CARAMU MENGHAPUS LUKAKU
Ulin Nurviana

Aku tertegun sesaat menatap macchiato yang terhidang sejak lima belas menit yang lalu. Gelas tingkat itu berdiri kokoh di depanku, seolah memintaku tetap duduk di sana. Endapan susu di atas espresso membuat otakku kembali membuka labirin-labirin masa lalu. Ya, masa saat kau membuka betapa aroma macchiato berhasil membuka hati yang nyaris membeku karena luka. Luka pahit yang sempat membara dan melukai rasa, hingga bertahun-tahun tak lagi kuhirup aromanya. Cinta yang kata orang bagai aroma biji kopi yang telah usai ditumbuk.
Macchiato bukanlah jenis kopi kesukaanmu, karena yang kutahu kau penggila kopi luwak. Kopi yang merajai masyarakat Indonesia, terutama masyarakat bawah. Itu kamu, kamu berasal dari golongan itu, golongan bawah pecinta kopi luwak. Aku jelas tak suka kopi, apalagi kopi luwak. Namun kutemukan hal lain dari dirimu, justru aroma kopi luwak yang menguap dari tubuhmu telah menutup lukaku. Luka yang digali oleh lelaki sebelum kamu. Kubuka slide saat itu, saat kau membuka labirin hatiku dengan macchiato-mu.
“Kopi telah mengubah dunia, Ne.” begitu katamu sambil menghidangkan beberapa cup yang berisi berbagai jenis kopi yang diramu secara berbeda-beda, mulai dari kopi luwak hingga Frappuccino.
“Cobalah satu dari mereka, aku yakin kau suka.” Kau memaksaku untuk menyeruput satu dari cup-cup yang kau tata di mejaku. Meja yang kupesan satu jam yang lalu di Coffee shop tempat kau kerja. 
Aku masih diam menatap mereka. Tidak ada yang menarik, bahkan coffee latte yang kau hidangkan dengan hiasan manis pun tak membuat lidahku goyah. Aku tidak mau luka masa lalu itu tersingkap kembali.
“Aku akan menunggumu, sampai kau mau menyicipi satu dari kopi yang kuhidangkan.” Katamu sambil menatapku.
Aku tidak tau apa yang ada di otakmu, sehingga kau rela meninggalkan pekerjaanmu hanya untuk menungguku menyeruput satu dari kopi-kopi itu. Aku tahu betul kau telah bersusah payah menggambar hiasan manis di atas latte dan tentunya dengan penuh ketulusan menyuguhkan secara sempurna di atas mejaku. Namun, entah sampai kemenit berapa, aku tak juga menyentuh satu dari mereka. Tatapanku kosong, tak ingin mengurung ingatan pahit yang melukai itu.
“Cobalah ini! Ini namanya Macchiato.” Kau tak menyerah sambil menggeser cup berisi macchiato ke arahku. Lebih dekat.
Kutatap macchiato yang kau sodorkan. Ada bayangan lelaki itu di atas susu yang mengendap. Tergambar jelas saat rasa ini disia-siakan, dan itu membuatku membuang muka. Aku ingat betul, lelaki bernama Renzhi –masa laluku– adalah pecinta kopi. Ya, sama sepertimu, dan itulah alasan aku tak ingin menyicipi kopi-kopi itu.
“Apa seumur hidup kau akan membenci kopi, Ne?”
Pertanyaanmu membuatku tertegun sesaat. Bahkan tatapanmu membuatku tak yakin untuk mengabaikannya kali ini.
“Kau tak tau aku, Loran.”
“Aku tahu kamu, Nelsa. Bahkan jauh lebih tau dari yang kau bayangkan. Lelaki itu bukan alasan untukmu membenci kopi.” Tegasmu, kulihat matamu berkaca-kaca.
Loran, kau memang tau semua masalahku, tau alur kisah rumit yang pernah kujalani, dan tau betul aku perempuan seperti apa. Lima tahun bersamamu mengukir banyak peristiwa yang membuatku tau apa itu sahabat.
Macchiato ini akan membantumu melupakan semua.” Kau kembali menggeser cup macchiato itu, terus memintaku mencicipinya, hingga entah pada detik keberapa tanganku mulai meraih cup berwarna coklat itu. Kutatap endapan susu di atas espresso dan perlahan mulai menyeruputnya.
Macchiato, kukupas habis memori masa dan luka itu. Slide-slide masa lalu terbuka dan membuka tabir luka yang masih terkunci rapat, luka yang tak kunjung padam karena terselip entah di sudut jantung yang mana, dan kini telah terbongkar. Aroma macchiato berhasil melelehkan airmataku. Ini kah rasanya kopi? Minuman yang tak kusentuh sekalipun selama tiga tahun ini.
“Aku akan menemanimu, Ne. Menelusuri sudut memori yang membuatmu tersesat.”
Kini airmataku benar-benar tumpah. Bukan karena slide-slide luka itu terbuka, tapi karena kalimat yang kau rangkai. Kutahu bagaimana perasaanmu, dan aku masih membisu terhadapmu. Tak ingin buka mulut atas rasa yang tak bisa kuraih seutuhnya seperti aku dan Renzhi.
Perlahan, seiring terbukanya semua memori itu, aku bertahan untuk masih duduk setia menunggumu. Ya, menunggu Loran dengan secangkir macchiato di depanku. Telah kututup ceritamu ketika itu, saatnya kubuka lembar detik ini. Lembar baru tanpa ingatan segorespun tentang Renzhi. Telah tertutup semua sejak macchiato merayap dalam lidahku. Sejak pula kau katakana akan menemaniku menelusuri rimba hati yang membuatku tersesat. Kini telah kutemukan kuncinya. Aku tidak akan lagi tersesat Loran, tidak akan lagi mengingat masa pahit itu.
“Aku menunggumu, Loran. Seperti kamu yang masih setia menunggu hatiku.”
Kupejamkan mata, berusaha merasakan kehadirannya. Dan entah pada detik keberapa kurasakan kehangatan merayap dalam tubuhku. Kubuka mata perlahan, dan kusaksikan kau tersenyum di depanku.

Jember, 14 Februari 2014
Karena kau yang menyimpan rasaku